Rss Feed Facebook Twitter Google Plus

post:


Senin, 15 April 2013

Jalan Menuju Nibbana



PENDAHULUAN
Dalam ajaran agama Buddha, terdapat ajaran tentang Panca Saddha, yang disebut juga Sradha. Yang dimaksud Panca Saddha atau Panca Sradha yaitu lima keyakinan. Lima keyakinan tersebut adalah keyakinan terhadap Sanghyang Adhi Buddha, keyakinan terhadap para Boddhisatva dan para Buddha, keyakinan terhadap hukum-hukum kesunyataan, keyakinan terhadap kitab suci, keyakinan terhadap Nibbana.
Menurut Buddha, kehidupan ini adalah dukha (penderitaan). Penderitaan yang dialami manusia  berasal dari tanha. Adanya tanha itu karena Avijja (ketidaktahuan). Maka dari itu, manusia harus melenyapkannya. Untuk melenyapkan penderitaan tersebut, manusia harus melaksanakan beberapa jalan, yaitu sering disebut jalan tengah atau jalan menuju Nibbana. Dan Nibbana merupakan tujuan akhir dari kehidupan manusia. Berikut akan membahas tentang saddha yang ke lima, yaitu Nibbana.

PEMBAHASAN
A.    Pengertian jalan menuju Nibbana
Jalan menuju ke Nibbana adalah jalan tengah (Majjima Patipada) yang menghindari ekstrim penyiksaan diri yang melemahkan kecerdasan dan ekstrim pengumbaran nafsu yang menghalangi kemajuan moral.[1] Bodhisatva pangeran Siddharta Gotama, melalui pengalaman-pengalamannya sendiri telah menemukan jalan tengah yang telah menghasilkan pandangan dan pengetahuan yang membawa beliau ke keterangan. Pengertian benar, kesadaran Agung dan Nibbana. Pada hakekatnya seluruh ajaran YMS Buddha Gotama, dengan yang disiarkan nya sendiri untuk 45 tahun lamanya, dalam satu dan lain cara ada hubungannya dengan jalan ini.[2] Hal ini dilakukan oleh Buddha Gotama dan beliau hanya tidur satu jam setiap harinya. Selama 45 tahun menyampaikan Dhamma kepada setiap orang setiap orang dengan penuh rasa kasih sayang. Setiap pagi beliau melihat sekeliling alam, memberikan berkah cinta kasih dan kasih sayang yang sempurna; membawa kebahagiaan dan membimbing berjuta-juta umat manusia untuk maju menuju pembebasan mutlak ialah Nibbana.[3] Beliau telah menerangkan dalam berbagai cara, dengan memakai aneka perkataan kepada bermacam-macam orang, sesuai dengan tingkatan pengetahuan masing-masing dan kesanggupan mereka untuk mengerti dalam mengikuti beliau. Sari dari ribuan sutta dalam kitab suci agama buddha adalah mengenai delapan ruas jalan  utama. Ruas jalan (magganga) ini tidak harus dilakukan menurut nomor urutan dari susunan yang kesatu sampai ke delapan. Ini tergantung dengan keadaan dan kesanggupan tiap-tiap orang. Karena ruas jalan itu satu sama lain bergantungan dan saling bantu-membantu. Jalan tengah adalah jalan yang menuju lenyapnya penderitaan. Ada delapan jalan dalam melakukan jalan tengah ini.[4] Jalan tengah disebut juga jalan utama.[5]  Buddha pun mengetahui bahwa tidak semua manusia memiliki kemampuan yang sama untuk seketika mencapai kematangan spiritual. Jadi ia menjelaskan secara rinci Jalan Mulia Berfaktor delapan untuk  perkembangan bertahap cara hidup spiritual dalam cara yang praktis. Ia tahu bahwa tidak semua orang dapat menjadi sempurna dalam satu kehidupan. Ia berkata bahwa sila, samadhi, panna harus dan dapat dikembangkan dalam banyak masa kehidupan dengan usaha yang tekun. Jalan ini akhirnya menuju pada pencapaian kedamaian tertinggi dimana tiada lagi dukha.[6]
B.     Jalan untuk mencapai Nibbana
Ada delapan jalan (cara) untuk mencapai Nibbana. Delapan ruas jalan utama dan jalan tengah itu lazim disebut tiga golongan yang lebih besar, yaitu:
1.      Sila artinya Tata hidup yang susila dan beradab[7]
Sebagai langkah pertama, kita menghindarkan diri dari perbuatan yang buruk dan merugikan. Jika kita menjalankan Sila, tidak menjalankan kejahatan apapun juga, maka api keinginan itu tidak akan memperoleh umpan baru. Oleh karena itu, keinginan haruslah dilemahkan dan dilawan.[8] Sila meliputi:
a.       Ucapan Benar (Samma Vacca)[9]
Ucapan benar meliputi hormat akan kebenaran dan hormat akan kesejahteraan orang lain. Hal ini berarti menghindari berdusta, memfitnah, berkata kasar, dan beromong kosong. Kita sering menganggap remeh kekuatan ucapan dan cenderung kurang mengendalikan ucapan kita. Tapi kita semua pernah terluka oleh kata-kata seseorang pada suatu waktu dalam hidup kita, dan juga pernah tersemangati oleh kata-kata orang lain. Kata-kata kasar dapat melukai lebih dalam daripada senjata, sedangkan kata-kata halus dapat mengubah hati  dan pikiran penjahat yang paling keji. Jadi untuk mengembangkan suatu masyarakat yang harmonis, kita harus mengendalikan, membudayakan, dan menggunakan ucapan kita secara positif. Kita mengucap kata-kata yang penuh kebenaran, membawa harmoni, baik, dan penuh makna. Buddha pernah berkata, “Ucapan yang menyenangkan itu manis bagai madu, ucapan yang penuh kebenaran itu indah bagai bunga, dan ucapan yang salah itu tidak berguna seperti sampah”.[10]
Syarat-syarat Ucapan benar:
Ø  Kata-kata itu benar
Ø  Kata-kata itu beralasan
Ø  Kata-kata itu berfaedah
Ø  Kata-kata itu tepat pada waktunya
Ucapan benar duniawi (lokiya samma vaca), yaitu:
Ø  Menghindari kedustaan
Ø  Menghindari pergunjingan
Ø  Menghindari kata-kata kasar/kotor
Ø  Menghindari omong kosong
Ucapan benar luhur (lokuttara samma vaca), yaitu Tidak melakukan empat jenis ucapan salah.
Hubungan dengan ruas jalan lain, yaitu:
Ø  Pandangan terang: menyelami ucapan salah sebagai salah dan ucapan benar sebagai benar
Ø  Daya upaya benar: berdaya upaya mengatasi ucapan salah dan membina ucapan benar
Ø  Perhatian benar: mengatasi ucapan salah dengan pikiran sadar serta memiliki ucapan benar dengan pikiran sadar.[11]
b.      Perbuatan Benar (Samma kammanta)[12]
Perbuatan benar melibatkan rasa hormat pada kehidupan, hormat pada kepemilikan, dan hormat pada hubungan pribadi. Hal ini berkaitan dengan tiga prinsip pertama dari Lima sila yang harus dijalani oleh setiap umat Buddha, yaitu pantang: membunuh, mencuri, dan berasusila. Hidup itu bernilai bagi semua makhluk, semua gentar pada hukuman, semua takut akan kematian, dan menghargai kehidupan. Karena itu sebaiknya kita menjauhkan diri dari mengambil kehidupan yang kita sendiri tidak dapat berikan dan kita sebaiknya tidak menyakiti makhluk lainnya. Hormat pada kepemilikan berarti bahwa kita sebaiknya tidak mengambil apa yang tidak diberikan dengan mencuri, menipu, atua memaksa. Hormat pada hubungan pribadi berarti bahwa kita sebaiknya tidak melakukan perilaku seksual yang menyimpang, yang mana hal ini penting untuk memelihara kehormatan dan kepercayaan orang yang kita cintai serta membuat masyarakat yang lebih baik untuk ditinggali.[13]
Untuk perbuatan benar duniawi (Lokiya Samma Vaca), yaitu:
Ø  Menghindari pembunuhan
Ø  Menghindari pencurian
Ø  Menghindari perjinahan
Untuk perbuatan benar luhur (Lokuttara Samma Vaca), yaitu: Tidak melakukan tiga perbuatan salah, dan berhubungan dengan jalan suci.
Hubungan dengan ruas jalan:
Ø  Pandangan benar: menyelami perbuatan salah sebagai salah dan perbuatan benar sebagai benar
Ø  Daya upaya benar: berdaya upaya untuk mengatasi perbuatan salah dan membina perbuatan benar
Ø  Perhatian benar: mengatasi perbuatan salah dengan pikiran sadar serta memiliki perbuatan benar dengan pikiran benar.[14]
c.     Penghidupan atau Mata Pencaharian Benar (Samma ajiva)[15]
Penghidupan benar adalah faktor sikap moral mengenai bagaimana kita mencari nafkah dalam masyarakat. Hal ini merupakan sambungan dari kedua faktor lainnya, perkataan benar dan perbuatan benar. Penghidupan benar berarti kita sebaiknya mencari nafkah tanpa melanggar prinsip-prinsip sikap moral ini. Umat Buddha tidak dianjurkan untuk terlibat dalam lima jenis mata pencaharian ini: perdagangan makhluk, perdagangan senjata, perdagangan daging yang menyebabkan pembinasaan hewan, perdagangan minuman keras, dan narkotika, serta perdagangan racun. Sebagian orang mungkin berkata bahwa mereka harus melakukan pekerjaan semacam itu untuk hidup mereka dan, karenanya, mereka tidak bisa dipersalahkan. Tetapi argumen ini sama sekali tidak berdasar. Jika hal ini sahih, maka pencuri, pembunuh, bandit, penjahat keji, penyelundup, dan penipu juga bisa berkilah dengan mudah bahwa mereka juga melakukan perbuatan keliru itu demi penghidupan mereka dan karenanya, tidak ada yang salah dengan cara hidup mereka.
Sebagian orang percaya bahwa memancing dan  berburu binatang untuk kesenangan dan membantai binatang untuk makanan tidak melawan prinsip-prinsip Buddhis. Ini adalah kesalahpahaman lain yang muncul karena kurangnya pengetahuan tentang Dhamma. Semua ini bukanlah tindakan yang layak dan mendatangkan penderitaan bagi makhluk lain. Tetapi dari semua perbuatan ini, orang yang paling jahat adalah orang yang melakukan tindakan buruk demi kesenangan semata. Mempertahankan kehidupan melalui jalan yang salah tidaklah sesuai dengan ajaran Buddha. Buddha pernah berkata, “Barang siapa hidup seratus tahun kurang bermoral, tidak kokoh, lebih baik hidup satu hari bermoral luhur, bermedirasi.” ( Dhammapada 110). Lebih baik mati sebagai orang yang beradab dan terhormat daripada hidup sebagai orang jahat.[16] 
Seorang Bhikhu diharapkan untuk menjalankan empat jenis kesusilaan yang lebih tinggi, yaitu:
1.      Patimokkha sila - Tata tertib moral yang mendasar.
2.      Indriyasamavara Sila – kesusilaan berkenaan dengan pengendalian indria
3.      Ajivaparisuddhi Sila – Kesusilaan berkenaan dengan kesucian kehidupan
4.      Paccayasannissita Sila – Kesusilaan berkenaan dengan penggunaan keperluan-keperluan hidup.
Empat jenis kesusilaan ini secara bersamaan disebut Sila Visuddhi (kesucian kebajikan), yang pertama dari tujuh tingkatan kesucian menuju jalan ke Nibbana.[17]
Untuk mata pencaharian duniawi, orang harus menghindari pencaharian salah dan melaksanankan mata pencaharian benar, yaitu:
Ø  Penipuan
Ø  Ketidaksetiaan
Ø  Penujuman
Ø  Kecurangan
Ø  Memungut bunga yang tinggi (praktek lintah darat).
Harus menghindari lima macam perdagangan:
Ø  Perdagangan alat-alat senjata
Ø  Berdagang mahluk hidup
Ø  Berdagang daging atau segala sesuatu yang berasal dari penganiayaan makhluk-makhluk hidup
Ø  Berdagang minuman yang memabukkan, yang bisa menimbulkan ketagihan
Ø  Berdagang racun.
Untuk mata pencaharian benar luhur:
Tidak melaksanakan mata pencaharian yang salah, dan berhubungan dengan jalan suci.
Hubungan dengan ruas jalan:
Ø  Pandangan benar: menyelami mata pencaharian salah sebagai salah, dan mata pencaharian benar sebagai benar
Ø  Daya upaya benar: berdaya upaya untuk mengatasi pencaharian salah dan membina mata pencaharian benar
Ø  Perhatian benar: mengatasi pencaharian salah dengan pikiran sadar serta memiliki mata pencaharian benar dengan pikiran sadar.[18]
2.      Samadhi artinya Pembinaan diri/ mental[19]
Manusia dapat melawan dan melemahkan keinginan itu dengan menjalankan meditasi atau samadhi ialah pengheningan cipta. Dengan samadhi atas cinta kasih dan rasa persaudaraan yang tak terbatas, kita dapat melemahkan perasaan-perasaan bermusuhan, membenci, dan iri hati. Dengan bersamadhi kita dapat melemahkan godaan-godaan untuk mengejar kesenangan.[20] Samadhi ini meliputi:
a.       Usaha/Daya Upaya Benar (Samma vayama)
Pengupayaan benar berarti bahwa kita mengembangkan suatu niat positif dan antusias dalam hal-hal yang kita lakukan, baik dalam karier, studi, atau  praktik Dhamma kita. Dengan semangat terus menerus dan tekad yang ceria semacam itu, kita akan sukses dalam hal-hal yang kita lakukan. Ada empat aspek pengupayaan benar, dua  aspek mengenai keburukan dan dua lainnya mengenai kebaikan. Pertama, adalah upaya untuk menolak keburukan yang telah muncul; kedua, upaya untuk mencegah munculnya keburukan; Ketiga, upaya untuk mengembangkan kebaikan yang belum muncul; keempat, upaya untuk memelihara kebaikan yang telah muncul. Dengan menerapkan pengupayaan benar dalam hidup kita, kita dapat mengurangi dan akhirnya menghapuskan keadaan batin yang buruk serta meningkatkan dan memantapkan batin yang sehat sebagai hal yang alamiah.[21]
Pelaksanaan daya upaya benar, adalah:
Ø  Mencegah munculnya unsur-unsur jahat dan tidak baik di dalam batin dengan sekuat tenaga
Ø  Berdaya upaya dengan sekuat tenaga untuk memusnahkan unsur jahat dan tidak baik di dalam batin
Ø  Berdaya upaya untuk membangkitkan unsur baik dan sehat di dalam batin
Ø  Berdaya keras untuk mempernyata, memperbanyak, memupuk, mengembangkan, menyelesaikan unsur-unsur baik dan sehat.[22]
b.      Perhatian Benar (Samma sati)[23] atau ada juga yang menyebut dengan penyadaran benar[24]
Pengupayaan benar berhubungan erat dengan penyadaran benar.
Praktik penyadaran adalah penting dalam ajaran Buddha. Buddha berkata bahwa penyadaran penuh adalah jalan untuk merealisasi akhir dukha. Penyadaran dapat dikembangkan dengan selalu menyadari empat aspek khusus. Aspek itu adalah penerapan penyadaran terhadap tubuh (postur tubuh, bernapas, dan sebagainya), perasaan (menyenangkan, tak menyenangkan, atau netral), pikiran (tamak, marah, buyar, terkelabui atau tidak), dan fenomena (rintangan batin, empat kebenaran mulia, faktor pencerahan, dan sebagainya). Penyadaran itu penting bahkan dalam kita sehari-hari, tatkala kita bertindak dengan penuh penyadaran akan perbuatan, perasaan, pikiran, dan kesekitaran kita. Batin sebaiknya senantiasa jernih dan penuh perhatian, alih-alih kabur dan terpecah.[25]
Perhatian benar  ini merupakan kunci delapan ruas jalan utama, ini terdiri dari latihan-latihan Vipassana Bhavana (meditasi pandangan terang) yang dapat menghasilkan penembusan kesunyatan yang diperolehnya tingkat-tingkat kesucian, latihan itu secara singkat terdiri dari:
1.      Perenungan terhadap tubuh (Kayanupassana)
a.       Perenungan terhadap pernapasan
b.      Perenungan terhadap gerak-gerik tubuh
c.       Perenungan terhadap isi tubuh
d.      Perenungan terhadap empat unsur yang merupakan rupakkhanda (unsur padat, cair, panas, gerak)
e.       Perenungan terhadap muncul dan lenyapnya tubuh.
Tiap-tiap pernapasan dilakukan dengan sadar.
2.      Perenungan terhadap perasaan (Vedananupassana), ialah setiap perasaan disadari dengan seksama, demikianpun muncul lenyapnya perasaan itu.
3.      Perenungan terhadap perasaan (Cittanupassana)
a.       Menyadari adanya ketamakan, kebencian, dan kebodohan dalam kesadaran.
b.      Menyadari bebasnya kesadaran dari ketamakan, kebencian, dan kebodohan.
c.       Menyadari muncul lenyapnya kesadaran.
4.      Perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran (Dhammanupassana)
a.       Menyadari muncul-lenyapnya kekotoran batin yang merintangi kemajuan samadhi
b.      Menyadari muncul lenyapnya kelima khandha
c.       Menyadari muncul lenyapnya belenggu-belenggu yang berhubungan dengan enam landasan indriya (mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, dan batin)
d.      Merenungkan empat kasunyatan.
Hasil dari perenungan ini, ialah ditembusnya anatta dan empat kasunyatan, dengan demikian diperolehnya Tingkat Kesucian.[26]
c.       Konsentrasi atau Meditasi Benar (Samma samadhi)[27], atau dapat disebut dengan pengheningan benar.[28]
Sementara penyadaran benar mengarahkan perhatian kita pada tubuh, perasaan, pikiran, atau obyek mental kita, atau peka terhadap orang lain, dengan kata lain, menaruh perhatian pada sesuatu yang kita pilih, pengheningan benar adalah penerapan sinambung perhatian itu pada suatu obyek tanpa terpecahnya pikiran. Pengheningan adalah praktik mengembangkan pemusatan pikiran pada satu objek tunggal, baik fisik maupun mental. Pikiran terserap total pada objek tanpa terpecah, goyang, cemas, atau bingung. Melalui latihan dibawah bimbingan guru yang berpengalaman, pengheningan benar membawa dua manfaat. Pertama, hal ini menuju pada kesejahteraan mental dan fisik, kenyamanan, kegembiraan, ketenangan. Kedua, hal ini mengubah batin menjadi mampu melihat sesuatu sebagaimana adanya, dan menyiapkan batin untuk mencapai kebijaksanaan.[29]
Samadhi bisa diartikan dengan konsentrasi atau kontemplasi.[30]
Yang dimaksud meditasi (samadhi) adalah terpusatnya batin pada satu titik, yaitu batin atau perhatian yang terpusat pada satu benda khusus atau suatu paham sampai semua pikiran-pikiran yang berhamburan dihentikan.[31]
Sedangkan menurut Matius Ali, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan samadhi atau pembersihan pikiran adalah mengenai seluruh pengendalian dan perkembangan dari pikiran serta kekuatan batin, yang dalam bahasa pali disebut bhavana.
Secara etimologis, kata samadhi berarti: penempatan yang kuat bersama dan di dalam sutta-sutta dijelaskan sebagai: keadaan pikiran yang ditujukan pada suatu objek (citta ekaggata= pemusatan pikiran). Jika ditinjau dalam arti yang luas, samadhi berarti suatu tingkat tertentu dari pemusatan pikiran, yang bersatu dan tak dapat dipisahkan dari unsur-unsur kesadaran.[32]
Dalam referensi lain, samadhi diartikan sebagai tehnik meditasi untuk menenangkan pikiran gangguan emosi dan pengalihan mental dengan melekatkan kuat-kuat pada objek tunggal perhatian dan kesadaran menjaganya sampai pikiran benar-benar menyerap dalam pre okupasi tunggal menyingkirkan hal lain, dan seluruhnya menyatu dalam keadaan kesadaran yang sederhana dan bersatu. Keadaan tenang, hening, dan konsentrasi disebut samadhi.[33]
Harus dipahami bahwa hening dan kesunyian ada dalam diri kita. Jika pikiran kita tidak tenang, bahkan hutan yang sunyi pun tidak akan menjadi cocok. Tetapi jika kita tenang, bahkan jantung kota yang ramai bisa menjadi cocok. Suasana tempat kita hidup berfungsi sebagai pembantu tak langsung untuk menenangkan pikiran kita.[34]
Samadhi berarti terpusatnya pikiran pada suatu hal. Ia merupakan konsentrasi pikiran pada suatu objek dengan mengeluarkan semua yang lain.[35]
Samadhi yang benar (samma samadhi) adalah bersatu dengan kesadaran dari karma yang baik; sedangkan samadhi yang salah (miccha-samadhi) adalah bersatu dengan semua kesadaran dari karma yang tidak baik. Bilamana dipergunakan istilah samadhi, yang dimaksud adalah samadhi yang benar.[36] Miccha samadhi dapat pula terjadi disamping samma samadhi. Pada bentuk yang pertama, kekuatan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan diri sendiri, apakah untuk keuntungan-keuntungan materi atau untuk tujuan-tujuan yang merugikan. Pada bentuk yang kedua, itu dikembangkan hanya untuk penyucian batin dan sebagai dasar-dasar pencapaian Jhana yang kemudian dipergunakan untuk melatih pandangan terang.[37]
Ada dua macam samadhi: Samatha Bhavana dan Vipassana Bhavana
Bhavana artinya menjadi, terbuka, perkembagan. Ada dua macam perkembangan:
a.       Perkembangan ketenangan batin (Samatha bhavana) atau konsentrasi (samadhi bhavana). Perkembangan pandangan – terang (Vipassana bhavana) atau perkembangan –kebijaksanaan (panna bhavana). Ketenangan (samatha) adalah keadaan pikiran yang tidak dapat digoncangkan, tenang, aman, damai, dan nyata. Ketenangan batin, sebenarnya menurut keterangan sankhepa vannana, mendatangkan tiga macam berkah, yakni reinkarnasi yang baik, hidup bahagia, dan kesucian pikiran untuk mencapai pandangan terang (vipassana).
b.      Pandangan-Terang (vipassana) adalah nyata pikiran yang seperti kilat menembus ketidak-kekalan, ketidak puasan, dan tidakadanya aku, (anicca, dukha, anatta)dari seluruh badan, perasaan, dan bentuk pikran, yakni: kelima kelompok kehidupan (khandha), yang terdiri atas: badan jasmani (rupa khandha), perasaan (vedana), pencerapan (sanna), bentuk-bentuk pikiran (sankhara)dan kelompok kesadaran (vinnana khandha).
Pemusatan pikiran, sebenarnya merupakan dasar penting untuk menuju tingkat awal pandangan terang, dengan membebaskan pikiran dari kotoran-kotoran dan rintangan batin; tapi pandangan terang adalah yang langsung membawa ke salah satu tingkat kesucian. Pandangan terang, jika sudah timbul, terusirlah kegelapan dari kebsodohan (avijja) dan terbitlah cahaya kebijaksanaan (panna).[38]
Konsentrasi benar adalah diiringi dengan pikiran benar, daya upaya benar, perhatian benar. Samadhi ini disebut Jhana, bertujuan untuk mencapai konsentrasi pikiran, dan ketenangan.
Jhana tingkat 1
Keadaan batin terdiri dari lima corak, yaitu:
1.      Usaha untuk memegang objek (vittaka)
2.      Pikiran telah berhasil memegang objek dengan kuat (vicara)
3.      Kegiuran atau kenikmatan, karena telah terbebas dari tekanan perasaan (piti)
4.      Kebahagiaan yang tidak terhingga (Sukkha)
5.      Pemusatan pikiran yang kuat (cittekaggata)
Jhana tingkat 2
1.      Kegiuran atau piti
2.      Kebahagiaan atau sukkha
3.      Pemusatan pikiran yang kuat atau Cittekaggata
Jhana tingkat 3
1.      Kebahagiaan atau sukkha
2.      Pemusatan pikiran atau Cittekaggata
Jhana tingkat 4
Semua perasaan lenyap, batin seimbang dan pikiran terpusat/manunggal atau upekkha dan cittekaggata
Setelah mencapai Jhana tingkat 4, penganut agama Buddha yang mulia dapat memperkembangkan tenaga-tenaga batin, ialah Abhinna, yang terdiri dari:
1.      Tenaga batin duniawi atau lokiya abhinna
Ø  Kekuatan magis (iddhividha) yang terdiri dari:
·         Iddhitana iddhi: dengan kekuatan kehendak dapat merubah tubuh sendiri dari satu menjadi banyak atau dari banyak kembali menjadi satu
·         Vikkubhana iddhi: kemampuan untuk menyalin rupa, (seperti menyalin rupa seperti anak kecil, raksasa, membuat diri menjadi tidak tertampak)
·         Manomaya iddhi: kemampuan menciptakan dengan menggunaan pikiran, umpamanya menciptakan harimau, pohon, dan sebagainya.
·         Hanavipphara iddhi: kekuatan menembus ajaran.
·         Samadhivipphara iddhi: konsentrasi lebih jauh:
*      Kemampuan menembus dinding, gunung, dan lain-lain
*      Kemampuan menyelam ke dalam bumi bagaikan ke dalam air
*      Kemampuan berjalan di atas air
*      Keampuan melawan api
*      Kemapuan berterbangan di angkasa
Ø  Telinga batin (dibbasota), ialah kemampuan untuk mendengar suara-suara dari alam-alam manusia dewa, yang jauh maupun yang dekat.
Ø  Mata batin (dibbacakkhu), ialah kemampuan untuk melihat alam-alam dan berkesanggupan melihat lenyap – muncul – lenyapnya makhluk yang menitis sesuai dengan kammanya masing-masing.
Ø  Kemampuan untuk membaca pikiran makhluk-makhluk lain atau cetopariyanana.
Ø  Kemampuan untuk mengingat penitisan-penitisan yang lampau atau pubbenivasanussati.
2.      Tenaga bathin luhur atau lokuttara abhinna
Ø  Kemampuan untuk memusnahkan arus-kekotoran batin (asava) atau asavakkhaya.
Lokkiya abhinna dapat dimiliki puthujjana, tapi lokuttara abhinna hanya dimiliki oleh para arahat karena dengan lenyapnya semua asava berarti dicapainya arahat. Dalam kitab Visuddhi Magga pasal XII membentangkan latihan-latihan untuk memperoleh iddhi.[39]
Tiga faktor ini adalah faktor untuk pengembangan kebijaksanaan melalui pemurnian batin. Faktor-faktor ini jika dilatih, memungkinkan seseorang untuk memperkuat dan mengendalikan batin, dan karena itu memastikan tindakannya akan terus baik dan batinnya dipersiapkan untuk menyadari kebenaran, yang akan membuka pintu menuju keterbatasan, menuju pencerahan.[40]
3.      Panna artinya Kebijaksanaan/ kebijaksanaan luhur[41],
Penembusan terhadap anicca dan dukkha adalah kebijaksanaan yang tertinggi. Kebijaksanaan tertinggi ini akan melenyapkan keinginan, yang menjadi akar dari penderitaan. Untuk melenyapkan penderitaan, keinginanan harus diatasi dengan sempurna dan untuk selama-lamanya. Jangan menambah kuatnya keinginan dengan membuat kejahatan, itulah Sila. Lawan keinginanmu dengan meditasi itulah Samadhi. Dan lenyapkan keinginnmu dengan menembus kebijaksanaan yang tertinggi, itu lah Panna.[42] Panna ini meliputi:
a.  Pengertian Benar (Samma ditthi)[43], atau dapat disebut juga dengan pandangan benar.[44]
Pandangan benar dijelaskan sebagai mengetahui pengetahuan akan empat kebenaran mulia. Dengan kata lain, hal ini adalah pemahaman sesuatu sebagaimana adanya. Pandangan benar juga berarti bahwa seseorang memahami sifat karma yang bermanfaat (baik) dan karma yang tidak bermanfaat (buruk), dan bagaimana hal itu dapat dilakukan oleh pikiran, ucapan, dan tubuh. Dengan memahami karma, seseorang akan belajar untuk memantang keburukan dan melakukan kebaikan , demi menciptakan hasil yang diinginkan dalam hidup. Jika seseorang memiliki pandangan benar, ia juga memahami tiga sifat keberadaan (bahwa segala hal yang terkondisi adalah tak tetap, tak memuaskan, dan tiada diri) dan memahami musabab yang saling bergantung. Seseorang dengan pandangan benar yang sempurna adalah orang yang bebas dari ketaktahuan, dan dengan sifat pencerahan itu menyingkirkan akar keburukan dari batinnya yang menjadi terbebas. Tujuan mulia umat Buddha adalah mengembangkan batin untuk memperoleh pandangan benar tentang diri sendiri, kehidupan, dan semua fenomena.[45]
Pandangan benar ini adalah:
1.      Menembus empat kasunyatan
2.      Menembus tiga corak umum, ialah barang siapa menyelami, bahwa bentuk jasmani (rupa), perasaan (vedana), pencerapan (sanna), bentuk-bentuk mental (sankhara) dan kesadaran (vinnana) adalah fana, terpengaruh oleh derita dan tanpa diri (anatta), dialah orangnya yang memiliki pandangan benar.
3.      Menembus pokok permulaan sebab akibat yang saling bergantungan, ialah sesungguhnya, barangsiapa menembusnya, dialah orangnya yang menembus kesunyatan; dan barangsiapa menembus kesunyatan, dialah orangnya yang menembusnya.
Untuk pandangan benar duniawi:
Memberi, sedekah, bermurah hati adalah tidak sia-sia, sesungguhnya terdapat buah dan akibat dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk.
Berbakti pada orang tua menghasilkan pahala, di alam-alam luhur terdapat makhluk-makhluk yang lahir dengan spontan.
Di dalam dunia terdapat petapa-petapa dan pandita yang tanpa noda serta sempurna, yang dapat menerangkan hidup sekarang dan hidup kemudian yangv telah mereka selami.
Untuk pandangan benar luhur:
Kebijaksanaan, penembusan, pandangan benar yang berhubungan dengan Ariya Atthangika Magga, batin berpaling dari dunia dan dihubungi dengan jalan suci yang ditempuh, inilah pandangan benar luhur.
Hubungan dengan ruas jalan:
Ø  Pandangan benar: menyelami pandangan salah sebagai salah dan pandangan benar sebagai benar
Ø  Daya upaya benar: berdaya untuk mengatasi pandangan salah dan membina pandangan benar
Ø  Perhatian benar: mengatasi pandangan salah dengan pikiran sadar serta memiliki pandangan benar dengan pikiran sadar.[46]
b.      Pikiran Benar (Samma sankappa)[47], atau disebut juga dengan perniatan benar.[48]
Jika seseorang memiliki pandangan benar, ia mengembangkan perniatan benar juga. Faktor ini kadang-kadang disebut sebagai pemikiran benar, kehendak benar, atau gagasan benar. Hal ini mengacu pada keadaan batin yang melenyapkan ide atau gagasan yang salah dan meningkatkan faktor moral lainnya untuk diarahkan menuju Nibbana. Faktor ini memberikan tujuan ganda, yaitu melenyapkan perniatan buruk dan mengembangkan perniatan murni. Perniatan benar penting karena niatlah yang memurnikan atau mengotori seseorang.
Ada tiga aspek perniatan benar. Pertama, seseorang sebaiknya memelihara sikap ketaklekatan pada kesenangan duniawi alih-alih melekat secara egois terhadapnya. Ia sebaiknya tidak mementingkan diri sendiri dan memikirkan kesejahteraan pihak lain. Kedua, seseorang sebaiknya memelihara cinta kasih, niat baik, dan kebajikan dalam batinnya, yang merupakan lawan kebencian, niat buruk, dan kejahatan. Ketiga, seseorang sebaiknya berniat untuk tidak menyakiti atau berwelas terhadap semua makhluk, yang merupakan lawan kekejaman dan kurang tenggang rasa terhadap pihak lain. Saat seseorang maju dalam jalan spiritual, batinnya akan semakin jadi bajik, tidak menyakiti, tidak memntingkan diri sendiri, dan dipenuhi cinta dan kewelasan.[49]
Pikiran Benar atau Samma Sankappa adalah:
Untuk pikiran Benar Dunia (Lokkiya Samma Sankappa) adalah:
Ø  Pikiran yang bebas dari hawa nafsu (nekhama sankappa)
Ø  Pikiran yang bebas dari kebencian (avyapada sankappa)
Ø  Pikiran yang bebas dari kekejaman (avihimsa sankappa)
Untuk pikiran benar luhur (Lokuttara Samma Sankappa):
Pemikiran, pertimbangan, pembahasan yang berpaling dari dunia, batin yang suci berhubungan dengan jalan suci yang ditempuh.
Hubungan dengan Ruas Jalan adalah:
Ø  Pandangan benar: menyelami pikiran salah sebagai salah, ddan pikiran benar sebagai benar
Ø  Daya upaya benar: berdaya untuk mengatasi pikiran jahat dan membina pikiran benar
Ø  Perhatian benar: mengatais pikiran jahat dengan sadar serta dengan sadar memiliki pikiran benar.
Jalan duniawi (Lokiya Magga) ditempuh oleh para Puthujjana dan menghasilkan buah-buah kamma duniawi yang baik. Akan tetapi Jalan Ssuci (Lokuttara Magga) ditempuh oleh parra Ariya puggala dan menghasilkan kesucian, bahkan pembebasan dari derita.[50]
Disiplin mengatur kata-kata dan perbuatan; konsentrasi mengawasi pikiran; tetapi pandangan terang (panna), langkah ketiga dan terakhir, yang memungkinkan seseorang calon pencapai kesucian untuk menghancurkan semua kekotoran yang ditenangkan oleh samadhi.
Pada mulanya ia mengembangkan “pandangan yang bersih” (ditthivisuddhi) dalam rangka melihat segala sesuatu sebagai mereka adanya. Dengan pikiran terpusat ia menganalisa dan menguji apa yang disebut makhluk. Pengujian ini menunjukkan apa yang ia sebut “sku”, (pribadi), hanyalah perpaduan kompleks dari batin dan jasmani yang selalu dalam keadaan mengalir. Setelah seseorang mencapai pandangan benar dari sifat sesungguhnya yang disebut makhluk, bebas dari paham suatu jiwa yang kekal, ia mencari sebab dari pribadi, “sang aku”. Ia menyadari bahwa tiada apapun di dunia yang tidak disyarati oleh sebab atau sebab-sebab tertentu, masa lampau atau sekarang, dan keberadaannya saat ini karena ketidak-tahuan (avijja), nafsu keinginan (tanha), kemelekatan (upadana) yang lalu, Kamma dan makanan jasmani pada saat ini. Karena ke lima sebab ini apa yang disebut makhuk muncul dan karena sebab-sebab masa lalu telah membentuk keadaan sekarang, jadi keadaan saat ini akan membentuk masa yang akan datang. Dengan bermeditasi, ia mengatasi semua keraguan berkenaan dengan masa lalu, saat ini dan yang akan datang. Selanjutnya ia merenungkan kesunyataan bahwa semua benda semua benda bersyarat tidak kekal (annica), terkena penderitaan (dukkha), dan kosong dari satu jiwa yang abadi (anatta). Kemanapun ia mengarahkan pandangan mata ia tidak melihat apapun kecuali tiga ciri utama yang tampak nyata. Ia menyadari bahwa kehidupan hanyalah keadaan yang mengalir oleh sebab-sebab dari dalam dan luar. Dimanapun tidak ia dapatkan ketenangan sejati, karena segala sesuatu dalam keadaan berubah. Karena ia merenungkan sifat kehidupan dengan cara itu dan larut dalam meditasi, diluar dugaannya, tiba saat ketika ia menjadi saksi dari satu cahaya (dukkha) yang dipancarkan oleh dirinya. Ia merasakan kenikmatan, kebahagiaan, dan ketenangan yang tak terbandingkan. Ia mengembangkan kesenangan pada keadaan batin ini. Segera kesadaran datang bahwa perkembangan baru adalah ini adalah rintangan pada kemajuan moral, dan ia mengembangkan kejelasan pengetahuan berkenaan dengan sang jalan dan bukan jalan.
Dengan mengamati jalan yang benar, ia memulai lagi meditasinya pada munculnya (udaya nana) dan lenyapnya (vaya nana) semua benda bersyarat. Dari dua keadaan itu, yang terakhir menjadi lebih mengesankan bagi batin karena perubahan lebih nyata daripada pemunculan. Oleh karena itu ia mengarahkan perhatiannya untuk merenungkan hancurnya benda-benda (bhanga nana). Ia mengamati bahwa baik batin maupun jasmani yang membentuk apa yang disebut makhluk dalam keadaan selau berubah, tidak tepat sama dalam dua saat yang berurutan. Padanya muncul pengetahuan bahwa semua benda yang hancur adalah menakutkan (bhaya nana). Seluruh dunia tampak padanya seperti setitik lobang bara api yang merupakan satu sumber bahaya. Selanjutnya ia merenungkan tentang kesengsaraan dan kekosongan (adhinava nana) dunia yang menakutkan dan kotor, serta memperoleh perasaan jijik (nibhida nana) diikuti oleh kehendak kuat unutk bebas dari padanya (muncitukamyata nana). Dengan pandangan ini, ia mengamati meditasinya pada tiga ciri utama dari ketidak kekalan, penderitaan dan ketiadaan jiwa (pati sankha nana), dan setelah itu mengembangkan keseimbangan penuh terhadap semua benda bersyarat- tidak mempunyai kemelekatan maupun keenganan terhadap obyek duniawi yang manapun (upekkha nana). Dengan mencapai titik perkembangan spiritual ini, ia memilih salah satu dari tiga ciri utama sebagai obyek khusus dari usahanya dan dengan tekun mengembangkan pandangan terang pada arah itu sampai hari yang agung ketika ia untuk pertama kali memahami Nibbana, tujuannya yang tertinggi. Ketika orang ini menyadari Nibbana pertama kali disebut Sotapanna, ia memasuki arus yang membimbing menuju ke Nibbana untuk pertama kali. Arus itu mewakili jalan Ariya Berunsur Delapan. Seorang pemenang arus bukan lagi orang biasa (puthujanna), tetapi orang Ariya (mulia).
Pada waktu mencapai tingkat pertama dari kesucian, ia menghancurkan tiga belenggu (samyojana) yang mengikatnya pada kelahiran yaitu:
1.      Sakkaya dithi: sati+kaya+ditthi – secara harfiah, pandangan ketika sekelompok atau perpaduan berada. Kaya menunjuk pada kelima kelompok jasmani, perasaan, persepsi, keadaan mental, dan kesadaran. Pandangan bahwa ada kesatuan yang tidak berubah, satu jiwa yang kekal, ketika ada perpaduan kompleks dari unsur batin dan jasmani, ia disebut sakkaya-ditthi.  Dhammasangani menyebutkan dua puluh jenis teori jiwa semacam itu. Sakkaya-ditthi biasanya diterjemahkan sebagai khayalan pribadi, teori tentang pribadi, atau khayalan tentang aliran pribadi.
2.      Vicikiccha: keragu-raguan. Mereka adalah keragu-raguan tentang Sang Buddha, Dhamma, Sangha, aturan tata kedisiplinan (sikkha), masa lalu, masa yang akan datang, baik masa lalu maupun masa yang akan datang, dan sebab musabab yang saling bergantungan (paticca samupada).
3.      Silabbataparamasa: kemelekatan (yang salah) pada ritual dan upacara.
Dhammasangani menerangkan hal itu sebagai berikut, “Ia merupakan teori yang dipegang oleh para pertapa dan Brahim diluar ajaran ini bahwa kesucian dicapai dengan aturan tindakan moral dan upacara.
Untuk mengahancurkan sisa tujuh belenggu yang lain seorang Sotapanna bertumimbal lahir paling banyak tujuh kali. Ia memperoleh keyakinan penuh pada Sang Buddha, Dhama dan Sangha. Ia dengan alasan apapun tak akan melanggar Lima Sila yang manapun. Ia tidak akan bertumimbal lahir dalam keadaan sengsara karena ia pasti mencapai penerangan. Si peziarah suci menyempurnakan pandangan terangnya untuk menjadi seorang sakadagami (Yang hanya kembali satu kali saja), tingkat kesucian yang kedua, dengan melemahkan dua belenggu lagi yaitu nafsu keinginan indriya (Kamaraga) dan keinginan jahat (patigha). Sekarang ia disebut Ia yang Hanya Kembali Satu Kali saja di dalam manusia seandainya ia tidak dapat mencapai tingkat kesucian Arahat pada kehidupan itu juga. Sangatlah menarik untuk dicatat bahwa para makhluk suci yang telah mencapai tingkat kesucian ke dua hanya dapat melemahkan dua belenggu yang kuat itu yang mengikatnya, sejak waktu lampau yang tak terkira. Kadang-kadang walaupun sangat jarang, ia dapat dikuasai pikiran penuh nafsu dan kemarahan. Dengan mencapai tingkat kesucian ketiga, yaitu Anagami (Yang sudah tidak kembali), ia lengkap menghancurkan dua belenggu tadi. Setelah itu ia tidak kembali di dunia ini maupun alam surgawi lain, karena ia telah mencabut keinginan untuk memuaskan indria. Setelah kematiannya ia bertumimbal lahir di Alam Yang Murni (Suddhavasa), satu lingkungan khusus untuk para Anagami. Di sana ia mencapai tingkat Arahat dan hidup sampai akhir hayatnya. Ketika seorang umat awam menjadi seorang Anagami, ia menjalankan kehidupan selibat.
Para Anagami sekarang membuat kemajuan terakhir dan menghancurkan sisa lima belenggu yaitu kemelekata pada alam yang berbentuk (ruparaga), kemelekatan pada alam yang tidak berbentuk (aruparaga), kesombongan (mana), keresahan (uddhacca) dan ketidaktahuan (avijja) mencapai tingkat Arahat, yaitu jenjang terakhir kesucian.
Pemasuk Arus, Yang hanya kembali satu kali saja, dan yang sudah tidak kembali disebut sekha karena mereka belum menyelesaikan latihan. Arahat disebut Aseka (Mahir) karena mereka sudah tidak menjalani latihan apapun.
Arahat, secara harfiah Yang Berharga, tidak bertumimbal lahir lagi karena ia tidak menimbun Kamma baru. Benih pembuahannya sudah dihancurkan semua.
Arahat memahami bahwa hal yang harus diselesaikan telah dikerjakan, beban berat dukacita akhirnya sudah dilepaskan, dan semua bentuk kerinduan dan semua bayangan atau ketidak tahuan sudah dihilangkan sama sekali.
Tumimbal lahir tak dapat mengenai dirinya lagi karena tidak ada lagi benih pembuahan dibentuk oleh kegiatan Kamma yang baru.
Walaupun sebagai Arahat ia tak bebas sepenuhnya dari penderitaan jasmani, karena pengalaman kebahagiaan. Kebebasan hanyalah berselang-seling demikian pula ia belum melepaskan badan jasmaninya. Seorang Arahat disebut Asekha, yaitu ia yang sudah tidak menjalani latihan, karena ia sudah menjalani kehidupan suci dan sudah menyelesaikan sasarannya. Para suci lain dari tingkat Sotapatti sampai tingkat jalur Arahat sisebut Sekha karena masih menjalani latihan.
Dapat disebutkan bahwa dalam hubungan ini para Anagami dan Arahat yang sudah mengembangkan Rupa dan Arupa Jhana dapat mengalami kebahagian Nibbana tanpa terputus selama tujuh hari, bahkan dalam kehidupan itu juga. Dalam bahasa Pali ini dikenal sebagai Niroddha Samapatti. Seorang Ariya, dalam keadaan ini,seluruhnya bebas dari rasa sakit, dan semua kegiatan mentalnya ditunda. Aliran kesadarannya berhenti mengalir untuk sementara.
Berkenaan dengan perbedaan antara orang yang telah mencapai Nirodha Samapatti dan orang mati, dalam Visuddhi Magga disebutkan, tidak hanya kekuatan plastis dari tubuh (yaitu pernafasan), pembicaraan dan pikiran diam tak bergerak, tetapi tenaga hidup juga habis, panas padam, dan unsur-unsur indria rusak, sedangkan pada Bhikku dalam kebahagiaan yang amat sangat tenaga hidup ada, jantung bekerja, dan unsur-unsur indria jelas, walaupun pernafasan, pengamatan, dan pemahaman diam dan tidak bergerak.
Menurut agama Buddha, dalam istilah konvensional, inilah bentuk kebahagiaan tertinggi yang mungkin ada dalam kehidupan sekarang.[51]
C.     Macam-Macam Nibbana
Sesungguhnya ini bukan macam Nibbana, karena hanya ada satu Nibbana. Perbedaan namanya sesuai dengan cara dicapainya, yaitu sebelum atau sesudah kematian.
Menurut pencapaiannya, Nibbana ada dua macam, yaitu:
1.      Sa- Upadisesa Nibbana
Yaitu nibbana masih bersisa, yang dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini juga. Yang dimaksud dengan bersisa di sini adalah masih adanya Lima Khanda. Ketika Pertapa Gotama mencapai Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha, Beliau dikatakan telah dapat mencapai Sa-upadisesa-Nibbana tetapi masih memiliki Lima Khanda (jasmani, kesadaran, bentuk pikiran, pencerapan dan perasaan).  Sa-upadisesa-Nibbana juga dapat dikatakan sebagai kondisi batin (state of mind) yang murni, tenang, dan seimbang.[52] Mereka yang mencapai Nibbãna, dengan batin yang telah bebas, tapi karena jasmaninya masih ada, maka dia masih menjadi obyek penderitaan jasmaniah.[53]
2.      An- Upadisesa Nibbana
Yaitu nibbana tanpa sisa. Setelah meninggal dunia, seorang Arahat akan mencapai anupadisesa-nibbana, ialah Nibbana tanpa sisa atau juga dinamakan Parinibbana, dimana tidak ada lagi Lima Khanda (jasmani, kesadaran, bentuk pikiran, pencerapan dan perasaan), tidak ada lagi sisa-sisa dan sebab-sebab dari suatu bentuk kemunculan. Sang Arahat telah beralih ke dalam keadaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Hal ini dapat diumpamakan dengan padamnya api dari sebuah pelita, kemanakah api itu pergi ? Hanya satu jawaban yang tepat, yaitu ‘tidak tahu’. Ketika Guru Buddha mangkat /wafat, Beliau dikatakan telah mencapai anupadisesa-nibbana.[54] Lalu setelah  mereka mati, batin juga dibebaskan dari penderitaan jasmaniah dan seorang  mencapai Nibbãna sempurna.[55]
D. Manfaat dari Sila, Samadhi, dan Panna
1.Hasil dari pelaksanaan Sila ialah diperolehnya kesucian Sila atau Silavisuddhi (kesucian pikiran, ucapan, dan perbuatan). Dengan begitu orang melaksanakan Sila, akan dapat mengendalikan tanha untuk kemudian menjadi seorang manusia yang hidupnya susila.
2. Hasil pelaksanaan Samadhi ialah diperolehnya kesucian batin atau Cittavisuddhi (kesadaran/batin yang bebas dari kekotoran-kekotoran). Dengan melaksanakan samadhi, akan dapat melemahkan kekuatan tanha dengan menjalankan sila. Karena Sila tanpa Samadhi adalah sulit untuk dapat berhasil dalam melakukan perbuatan yang susila. Tapi Samaditanpa Sila tidak akan berhasil. Karena itu, keduanya harus dijalankan bersama-sam.
3. Hasil pelaksanaan Panna, ialah diperolehnya kesucian pandangan atau Ditthivisuddhi (melihat segala sesuatunya dalam kewajaran dari anicca,dukkha, dan anatta). Bila Sila dan Samadhi tercapai sempurna, maka tercapailah Panna.  Panna gunanya untuk melenyapkan tanha yang menjadi sebab utama terjadinya penderitaan jasmani-rohani. Berhasilnya Panna diperoleh, Sila dan Samadhi sekaligus telah dijalankan. Maka avijja, asava, dan tanha dapat dibasmi.[56]
E. Keadaan Orang yang telah mencapai Nibbana
Tiada lagi penderitaan bagi mereka yang telah mencapai Nibbana, yang  telah terbebas dari penderitaan yang telah membebaskan diri dari segala ikatan nafsu, yang telah memutuskan semua ikatan. Orang yang sempurna, sikapnya toleran, seperti tanha, seperti ambang pintu yang menjalankan tugasnya, yang bagaikan danau yang tidak berlumpur, manusia yang demikian tidak lagi terikat oleh lingkaran Tumimbal lahir dan kematian.
Pikiran tenang, tutur kata dan perbuatannya senantiasa dilakukan dengan tenang setelah ia mencapai kebebasan melalui pengetahuan sejati dan menjadi tenang serta seimbang. Orang sempurna telah bebas dari ketahyulan. Ia mengetahui yang tak diciptakan, yang telah memutuskan semua nafsu keinginan. Dialah manusia yang paling luhur, suci dari segala manusia.
Dimana saja bersemayam orang suci, tempat itu pasti sangat menyenangkan, baik di kota, di kampung maupun di dalam hutan, di laut maupun di darat.
Cita-cita semua umat Buddha, petama-tama ialah untuk mencapai tingkat kesucian, untuk menjadi manusia suci atau Arahat, atau menjadi Bodhisattva untuk mencapai tingkat ke Buddhaan dan Nibbana.[57]
Arahat melanjutkan hidup pada saat ia telah mencapai Nibbana karena kekuatan kamma yang menghasilkan kelahiran belum berakhir. Arahat hidup sepanjang rentang hidupnya tanpa penambahan Kamma baru pada timbunannya, dan sama sekali tidak mempersoalkan kematian.
Ketika Arahat telah mati, ia telah hilang. Untuk mereka yang hilang, tercantum  dalam Sutta Nippana, tidak ada bentuk apapun yang dapat mereka katakan sebagai kehadirannya. Jika semua keadaan terputus semua materi untuk didiskusikan juga terputus.[58]

PENUTUP
Jalan menuju ke Nibbana adalah jalan tengah (Majjima Patipada) yang menghindari ekstrim penyiksaan diri yang melemahkan kecerdasan dan ekstrim pengumbaran nafsu yang menghalangi kemajuan moral.
Tidak semua manusia memiliki kemampuan yang sama untuk seketika mencapai kematangan spiritual. Buddha menjelaskan secara rinci Jalan Mulia Berfaktor delapan untuk  perkembangan bertahap cara hidup spiritual dalam cara yang praktis.
Jalan untuk mencapai Nibbana ada delapan cara, namun telah dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1.      Sila : kesusilaan, meliputi perkataan benar, penghidupan benar, penghidupan benar.
2.      Samadhi: keheningan, meliputi pengupayaan benar, penyadaran benar, pengheningan benar.
3.      Panna: kebijaksanaan, meliputi pandangan benar dan perniatan benar.
Orang yang telah mencapai Nibbana disebut orang yang sempurna. Tiada lagi penderitaan bagi mereka yang telah mencapai Nibbana.
Macam-Macam Nibbana:
1.                 Sa – Upadisesa Nibbana
2.                 An – Upadisesa Nibbana
Manfaat Sila, Samadhi, dan Panna:
  1. Sila: kesucian Sila (kesucian pikiran, ucapan, dan perbuatan), dapat mengendalikan tanha.
  2. Samadhi: kesucian batin (kesadaran/batin yang bebas dari kekotoran-kekotoran), dapat melemahkan kekuatan tanha.
  3. Panna : kesucian pandangan (melihat segala sesuatunya dalam kewajaran dari anicca,dukkha, dan anatta), melenyapkan tanha.

DAFTAR PUSTAKA
Abhijato, Acharm Suchart, Kenikmatan inderawi adalah menykitkan
Ali, Matius, Filsafat India, (Tangerang: Sanggar Luxor),  2010, cet.  l,
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, (Kuala Lumpur:Ehipassiko Foundation), 2012
Diputhera, Oka, Pedoman Penerangan Agama Buddha, (Jakarta: Yayasan Sariputra Sadono), 1977
Mahatera,  Ven Narada, Sang Budha dan ajaran-ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama), 1992
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma
Pustaka Dhamma, Nibbana, diakses pada 09 April 2013, dari http://tanhadi.blogspot.com/2012/02/bab-viii-nibbana.html
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm


[1] Mahatera,  Ven Narada, Sang Budha dan ajaran-ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama), 1992, h. 191
[2] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[3] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 12
[4] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[5] Diputhera, Oka, Pedoman Penerangan Agama Buddha, (Jakarta: Yayasan Sariputra Sadono), 1977, h. 62
[6] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, (Kuala Lumpur:Ehipassiko Foundation), 2012, h. 119
[7] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[8] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 99
[9] Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[10] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 121
[11] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 119
[12] Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[13] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 122
[14] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 120
[15] Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[16] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 122-123
[17] Mahatera,  Ven Narada, Sang Budha dan ajaran-ajarannya, h. 191-196
[18] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 120-121
[19] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[20] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 100
[21] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 123-124
[22] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 121
[23] Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[24] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 119
[25] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 124
[26] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 121-122
[27] Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[28] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 119
[29] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 124-125
[30] Ali, Matius, Filsafat India, (Tangerang: Sanggar Luxor),  2010, cet.  l, h. 170
[31] Vajirananavarorasa, prince, Dhamma Vibhaga, h. 21
[32] Ali, Matius, Filsafat India, h. 170
[33] Abhijato, Acharm Suchart, Kenikmatan inderawi adalah menykitkan, h. 125
[34] Mahatera,  Ven Narada, Sang Budha dan ajaran-ajarannya, h. 200
[35] Mahatera,  Ven Narada, Sang Budha dan ajaran-ajarannya, h. 197
[36] Ali, Matius, Filsafat India, 170
[37] Vajirananavarorasa, prince, Dhamma Vibhaga, h. 22
[38] Ali, Matius, Filsafat India, 171
[39] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 123-124
[40] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 123
[41] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[42] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 01
[43] Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[44] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 119
[45] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 120
[46] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 125-126
[47] Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[48] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 119
[49] Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 120-121
[50] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 126
[51] Mahatera,  Ven Narada, Sang Budha dan ajaran-ajarannya, h. 217-223
[52] Pustaka Dhamma, Nibbana, diakses pada 09 April 2013, dari http://tanhadi.blogspot.com/2012/02/bab-viii-nibbana.html
[53] Pustaka Dhamma, Buku Pintar Agama Buddha, diakses pada 09 April 203, dari http://tanhadi.blogspot.com/2011/03/buku-pintar-agama-buddha-n.html
[54] Pustaka Dhamma, Nibbana, diakses pada 09 April 2013, dari http://tanhadi.blogspot.com/2012/02/bab-viii-nibbana.html
[55] Pustaka Dhamma, Buku Pintar Agama Buddha, diakses pada 09 April 203, dari http://tanhadi.blogspot.com/2011/03/buku-pintar-agama-buddha-n.html
[56] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 127
[57] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136-137
[58] Mahatera,  Ven Narada, Sang Budha dan ajaran-ajarannya, h. 224


Share This :

0 komentar:

Posting Komentar