PENDAHULUAN
Dalam
ajaran agama Buddha, terdapat ajaran tentang Panca Saddha, yang disebut juga Sradha.
Yang dimaksud Panca Saddha atau Panca Sradha yaitu lima keyakinan. Lima
keyakinan tersebut adalah keyakinan terhadap Sanghyang Adhi Buddha, keyakinan
terhadap para Boddhisatva dan para Buddha, keyakinan terhadap hukum-hukum
kesunyataan, keyakinan terhadap kitab suci, keyakinan terhadap Nibbana.
Menurut
Buddha, kehidupan ini adalah dukha (penderitaan). Penderitaan yang dialami
manusia berasal dari tanha. Adanya tanha
itu karena Avijja (ketidaktahuan). Maka dari itu, manusia harus melenyapkannya.
Untuk melenyapkan penderitaan tersebut, manusia harus melaksanakan beberapa
jalan, yaitu sering disebut jalan tengah atau jalan menuju Nibbana. Dan Nibbana
merupakan tujuan akhir dari kehidupan manusia. Berikut akan membahas tentang
saddha yang ke lima, yaitu Nibbana.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
jalan menuju Nibbana
Jalan menuju ke Nibbana adalah jalan tengah (Majjima Patipada)
yang menghindari ekstrim penyiksaan diri yang melemahkan kecerdasan dan ekstrim
pengumbaran nafsu yang menghalangi kemajuan moral.[1] Bodhisatva
pangeran Siddharta Gotama, melalui pengalaman-pengalamannya sendiri telah
menemukan jalan tengah yang telah menghasilkan pandangan dan pengetahuan yang
membawa beliau ke keterangan. Pengertian benar, kesadaran Agung dan Nibbana.
Pada hakekatnya seluruh ajaran YMS Buddha Gotama, dengan yang disiarkan nya
sendiri untuk 45 tahun lamanya, dalam satu dan lain cara ada hubungannya dengan
jalan ini.[2]
Hal ini dilakukan oleh Buddha Gotama dan beliau hanya tidur satu jam setiap
harinya. Selama 45 tahun menyampaikan Dhamma kepada setiap orang setiap orang
dengan penuh rasa kasih sayang. Setiap pagi beliau melihat sekeliling alam,
memberikan berkah cinta kasih dan kasih sayang yang sempurna; membawa
kebahagiaan dan membimbing berjuta-juta umat manusia untuk maju menuju
pembebasan mutlak ialah Nibbana.[3]
Beliau telah menerangkan dalam berbagai cara, dengan memakai aneka perkataan
kepada bermacam-macam orang, sesuai dengan tingkatan pengetahuan masing-masing
dan kesanggupan mereka untuk mengerti dalam mengikuti beliau. Sari dari ribuan
sutta dalam kitab suci agama buddha adalah mengenai delapan ruas jalan utama. Ruas jalan (magganga) ini tidak
harus dilakukan menurut nomor urutan dari susunan yang kesatu sampai ke
delapan. Ini tergantung dengan keadaan dan kesanggupan tiap-tiap orang. Karena
ruas jalan itu satu sama lain bergantungan dan saling bantu-membantu. Jalan
tengah adalah jalan yang menuju lenyapnya penderitaan. Ada delapan jalan dalam
melakukan jalan tengah ini.[4]
Jalan tengah disebut juga jalan utama.[5] Buddha pun mengetahui bahwa tidak semua
manusia memiliki kemampuan yang sama untuk seketika mencapai kematangan
spiritual. Jadi ia menjelaskan secara rinci Jalan Mulia Berfaktor delapan
untuk perkembangan bertahap cara hidup
spiritual dalam cara yang praktis. Ia tahu bahwa tidak semua orang dapat
menjadi sempurna dalam satu kehidupan. Ia berkata bahwa sila, samadhi, panna
harus dan dapat dikembangkan dalam banyak masa kehidupan dengan usaha yang
tekun. Jalan ini akhirnya menuju pada pencapaian kedamaian tertinggi dimana
tiada lagi dukha.[6]
B.
Jalan
untuk mencapai Nibbana
Ada delapan jalan (cara) untuk mencapai Nibbana. Delapan ruas jalan
utama dan jalan tengah itu lazim disebut tiga golongan yang lebih besar, yaitu:
Sebagai
langkah pertama, kita menghindarkan diri dari perbuatan yang buruk dan
merugikan. Jika kita menjalankan Sila, tidak menjalankan kejahatan apapun juga,
maka api keinginan itu tidak akan memperoleh umpan baru. Oleh karena itu,
keinginan haruslah dilemahkan dan dilawan.[8]
Sila meliputi:
a.
Ucapan
Benar (Samma Vacca)[9]
Ucapan benar meliputi hormat akan kebenaran dan hormat akan
kesejahteraan orang lain. Hal ini berarti menghindari berdusta, memfitnah,
berkata kasar, dan beromong kosong. Kita sering menganggap remeh kekuatan
ucapan dan cenderung kurang mengendalikan ucapan kita. Tapi kita semua pernah
terluka oleh kata-kata seseorang pada suatu waktu dalam hidup kita, dan juga
pernah tersemangati oleh kata-kata orang lain. Kata-kata kasar dapat melukai
lebih dalam daripada senjata, sedangkan kata-kata halus dapat mengubah
hati dan pikiran penjahat yang paling
keji. Jadi untuk mengembangkan suatu masyarakat yang harmonis, kita harus
mengendalikan, membudayakan, dan menggunakan ucapan kita secara positif. Kita
mengucap kata-kata yang penuh kebenaran, membawa harmoni, baik, dan penuh
makna. Buddha pernah berkata, “Ucapan yang menyenangkan itu manis bagai madu,
ucapan yang penuh kebenaran itu indah bagai bunga, dan ucapan yang salah itu
tidak berguna seperti sampah”.[10]
Syarat-syarat Ucapan benar:
Ø Kata-kata itu benar
Ø Kata-kata itu beralasan
Ø Kata-kata itu berfaedah
Ø Kata-kata itu tepat pada waktunya
Ucapan benar duniawi (lokiya samma vaca), yaitu:
Ø Menghindari kedustaan
Ø Menghindari pergunjingan
Ø Menghindari kata-kata kasar/kotor
Ø Menghindari omong kosong
Ucapan benar luhur (lokuttara samma vaca), yaitu Tidak melakukan empat jenis ucapan salah.
Hubungan dengan ruas jalan lain, yaitu:
Ø Pandangan terang: menyelami ucapan salah sebagai salah dan ucapan
benar sebagai benar
Ø Daya upaya benar: berdaya upaya mengatasi ucapan salah dan membina
ucapan benar
Ø Perhatian benar: mengatasi ucapan salah dengan pikiran sadar serta
memiliki ucapan benar dengan pikiran sadar.[11]
b.
Perbuatan
Benar (Samma kammanta)[12]
Perbuatan
benar melibatkan rasa hormat pada kehidupan, hormat pada kepemilikan, dan
hormat pada hubungan pribadi. Hal ini berkaitan dengan tiga prinsip pertama
dari Lima sila yang harus dijalani oleh setiap umat Buddha, yaitu pantang:
membunuh, mencuri, dan berasusila. Hidup itu bernilai bagi semua makhluk, semua
gentar pada hukuman, semua takut akan kematian, dan menghargai kehidupan. Karena
itu sebaiknya kita menjauhkan diri dari mengambil kehidupan yang kita sendiri
tidak dapat berikan dan kita sebaiknya tidak menyakiti makhluk lainnya. Hormat
pada kepemilikan berarti bahwa kita sebaiknya tidak mengambil apa yang tidak
diberikan dengan mencuri, menipu, atua memaksa. Hormat pada hubungan pribadi
berarti bahwa kita sebaiknya tidak melakukan perilaku seksual yang menyimpang,
yang mana hal ini penting untuk memelihara kehormatan dan kepercayaan orang
yang kita cintai serta membuat masyarakat yang lebih baik untuk ditinggali.[13]
Untuk perbuatan benar duniawi (Lokiya Samma Vaca), yaitu:
Ø Menghindari pembunuhan
Ø Menghindari pencurian
Ø Menghindari perjinahan
Untuk perbuatan benar luhur (Lokuttara Samma Vaca), yaitu: Tidak melakukan tiga perbuatan salah, dan berhubungan dengan jalan
suci.
Hubungan dengan ruas jalan:
Ø Pandangan benar: menyelami perbuatan salah sebagai salah dan
perbuatan benar sebagai benar
Ø Daya upaya benar: berdaya upaya untuk mengatasi perbuatan salah dan
membina perbuatan benar
Ø Perhatian benar: mengatasi perbuatan salah dengan pikiran sadar
serta memiliki perbuatan benar dengan pikiran benar.[14]
c.
Penghidupan
atau Mata Pencaharian Benar (Samma ajiva)[15]
Penghidupan
benar adalah faktor sikap moral mengenai bagaimana kita mencari nafkah dalam
masyarakat. Hal ini merupakan sambungan dari kedua faktor lainnya, perkataan
benar dan perbuatan benar. Penghidupan benar berarti kita sebaiknya mencari
nafkah tanpa melanggar prinsip-prinsip sikap moral ini. Umat Buddha tidak
dianjurkan untuk terlibat dalam lima jenis mata pencaharian ini: perdagangan
makhluk, perdagangan senjata, perdagangan daging yang menyebabkan pembinasaan
hewan, perdagangan minuman keras, dan narkotika, serta perdagangan racun.
Sebagian orang mungkin berkata bahwa mereka harus melakukan pekerjaan semacam
itu untuk hidup mereka dan, karenanya, mereka tidak bisa dipersalahkan. Tetapi
argumen ini sama sekali tidak berdasar. Jika hal ini sahih, maka pencuri,
pembunuh, bandit, penjahat keji, penyelundup, dan penipu juga bisa berkilah
dengan mudah bahwa mereka juga melakukan perbuatan keliru itu demi penghidupan
mereka dan karenanya, tidak ada yang salah dengan cara hidup mereka.
Sebagian orang percaya bahwa memancing dan berburu binatang untuk kesenangan dan
membantai binatang untuk makanan tidak melawan prinsip-prinsip Buddhis. Ini
adalah kesalahpahaman lain yang muncul karena kurangnya pengetahuan tentang
Dhamma. Semua ini bukanlah tindakan yang layak dan mendatangkan penderitaan
bagi makhluk lain. Tetapi dari semua perbuatan ini, orang yang paling jahat
adalah orang yang melakukan tindakan buruk demi kesenangan semata.
Mempertahankan kehidupan melalui jalan yang salah tidaklah sesuai dengan ajaran
Buddha. Buddha pernah berkata, “Barang siapa hidup seratus tahun kurang
bermoral, tidak kokoh, lebih baik hidup satu hari bermoral luhur, bermedirasi.”
( Dhammapada 110). Lebih baik mati sebagai orang yang beradab dan
terhormat daripada hidup sebagai orang jahat.[16]
Seorang
Bhikhu diharapkan untuk menjalankan empat jenis kesusilaan yang lebih tinggi,
yaitu:
1. Patimokkha
sila - Tata tertib moral yang mendasar.
2. Indriyasamavara
Sila – kesusilaan berkenaan dengan pengendalian indria
3. Ajivaparisuddhi
Sila – Kesusilaan berkenaan dengan kesucian kehidupan
4. Paccayasannissita
Sila – Kesusilaan berkenaan dengan penggunaan keperluan-keperluan hidup.
Empat
jenis kesusilaan ini secara bersamaan disebut Sila Visuddhi (kesucian
kebajikan), yang pertama dari tujuh tingkatan kesucian menuju jalan ke Nibbana.[17]
Untuk
mata pencaharian duniawi, orang harus menghindari pencaharian salah dan
melaksanankan mata pencaharian benar, yaitu:
Ø Penipuan
Ø Ketidaksetiaan
Ø Penujuman
Ø Kecurangan
Ø Memungut
bunga yang tinggi (praktek lintah darat).
Harus
menghindari lima macam perdagangan:
Ø Perdagangan
alat-alat senjata
Ø Berdagang
mahluk hidup
Ø Berdagang
daging atau segala sesuatu yang berasal dari penganiayaan makhluk-makhluk hidup
Ø Berdagang
minuman yang memabukkan, yang bisa menimbulkan ketagihan
Ø Berdagang
racun.
Untuk
mata pencaharian benar luhur:
Tidak
melaksanakan mata pencaharian yang salah, dan berhubungan dengan jalan suci.
Hubungan
dengan ruas jalan:
Ø Pandangan
benar: menyelami mata pencaharian salah sebagai salah, dan mata pencaharian
benar sebagai benar
Ø Daya
upaya benar: berdaya upaya untuk mengatasi pencaharian salah dan membina mata
pencaharian benar
Ø Perhatian
benar: mengatasi pencaharian salah dengan pikiran sadar serta memiliki mata
pencaharian benar dengan pikiran sadar.[18]
Manusia
dapat melawan dan melemahkan keinginan itu dengan menjalankan meditasi atau
samadhi ialah pengheningan cipta. Dengan samadhi atas cinta kasih dan rasa
persaudaraan yang tak terbatas, kita dapat melemahkan perasaan-perasaan
bermusuhan, membenci, dan iri hati. Dengan bersamadhi kita dapat melemahkan
godaan-godaan untuk mengejar kesenangan.[20] Samadhi
ini meliputi:
a.
Usaha/Daya
Upaya Benar (Samma vayama)
Pengupayaan benar berarti bahwa kita mengembangkan suatu niat
positif dan antusias dalam hal-hal yang kita lakukan, baik dalam karier, studi,
atau praktik Dhamma kita. Dengan
semangat terus menerus dan tekad yang ceria semacam itu, kita akan sukses dalam
hal-hal yang kita lakukan. Ada empat aspek pengupayaan benar, dua aspek mengenai keburukan dan dua lainnya
mengenai kebaikan. Pertama, adalah upaya untuk menolak keburukan yang telah
muncul; kedua, upaya untuk mencegah munculnya keburukan; Ketiga, upaya untuk
mengembangkan kebaikan yang belum muncul; keempat, upaya untuk memelihara
kebaikan yang telah muncul. Dengan menerapkan pengupayaan benar dalam hidup
kita, kita dapat mengurangi dan akhirnya menghapuskan keadaan batin yang buruk
serta meningkatkan dan memantapkan batin yang sehat sebagai hal yang alamiah.[21]
Pelaksanaan
daya upaya benar, adalah:
Ø Mencegah munculnya unsur-unsur jahat dan tidak baik di dalam batin
dengan sekuat tenaga
Ø Berdaya upaya dengan sekuat tenaga untuk memusnahkan unsur jahat
dan tidak baik di dalam batin
Ø Berdaya upaya untuk membangkitkan unsur baik dan sehat di dalam batin
Ø Berdaya keras untuk mempernyata, memperbanyak, memupuk,
mengembangkan, menyelesaikan unsur-unsur baik dan sehat.[22]
Pengupayaan
benar berhubungan erat dengan penyadaran benar.
Praktik
penyadaran adalah penting dalam ajaran Buddha. Buddha berkata bahwa penyadaran
penuh adalah jalan untuk merealisasi akhir dukha. Penyadaran dapat dikembangkan
dengan selalu menyadari empat aspek khusus. Aspek itu adalah penerapan penyadaran
terhadap tubuh (postur tubuh, bernapas, dan sebagainya), perasaan
(menyenangkan, tak menyenangkan, atau netral), pikiran (tamak, marah, buyar,
terkelabui atau tidak), dan fenomena (rintangan batin, empat kebenaran mulia,
faktor pencerahan, dan sebagainya). Penyadaran itu penting bahkan dalam kita
sehari-hari, tatkala kita bertindak dengan penuh penyadaran akan perbuatan,
perasaan, pikiran, dan kesekitaran kita. Batin sebaiknya senantiasa jernih dan
penuh perhatian, alih-alih kabur dan terpecah.[25]
Perhatian benar ini
merupakan kunci delapan ruas jalan utama, ini terdiri dari latihan-latihan
Vipassana Bhavana (meditasi pandangan terang) yang dapat menghasilkan
penembusan kesunyatan yang diperolehnya tingkat-tingkat kesucian, latihan itu
secara singkat terdiri dari:
1.
Perenungan
terhadap tubuh (Kayanupassana)
a.
Perenungan
terhadap pernapasan
b.
Perenungan
terhadap gerak-gerik tubuh
c.
Perenungan
terhadap isi tubuh
d.
Perenungan
terhadap empat unsur yang merupakan rupakkhanda (unsur padat, cair, panas,
gerak)
e.
Perenungan
terhadap muncul dan lenyapnya tubuh.
Tiap-tiap pernapasan dilakukan dengan sadar.
2.
Perenungan
terhadap perasaan (Vedananupassana), ialah setiap perasaan disadari dengan
seksama, demikianpun muncul lenyapnya perasaan itu.
3.
Perenungan
terhadap perasaan (Cittanupassana)
a.
Menyadari
adanya ketamakan, kebencian, dan kebodohan dalam kesadaran.
b.
Menyadari
bebasnya kesadaran dari ketamakan, kebencian, dan kebodohan.
c.
Menyadari
muncul lenyapnya kesadaran.
4.
Perenungan
terhadap bentuk-bentuk pikiran (Dhammanupassana)
a.
Menyadari
muncul-lenyapnya kekotoran batin yang merintangi kemajuan samadhi
b.
Menyadari
muncul lenyapnya kelima khandha
c.
Menyadari
muncul lenyapnya belenggu-belenggu yang berhubungan dengan enam landasan
indriya (mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, dan batin)
d.
Merenungkan
empat kasunyatan.
Hasil dari perenungan ini, ialah ditembusnya anatta dan empat
kasunyatan, dengan demikian diperolehnya Tingkat Kesucian.[26]
c.
Konsentrasi
atau Meditasi Benar (Samma samadhi)[27],
atau dapat disebut dengan pengheningan benar.[28]
Sementara
penyadaran benar mengarahkan perhatian kita pada tubuh, perasaan, pikiran, atau
obyek mental kita, atau peka terhadap orang lain, dengan kata lain, menaruh
perhatian pada sesuatu yang kita pilih, pengheningan benar adalah penerapan
sinambung perhatian itu pada suatu obyek tanpa terpecahnya pikiran.
Pengheningan adalah praktik mengembangkan pemusatan pikiran pada satu objek
tunggal, baik fisik maupun mental. Pikiran terserap total pada objek tanpa
terpecah, goyang, cemas, atau bingung. Melalui latihan dibawah bimbingan guru
yang berpengalaman, pengheningan benar membawa dua manfaat. Pertama, hal ini
menuju pada kesejahteraan mental dan fisik, kenyamanan, kegembiraan,
ketenangan. Kedua, hal ini mengubah batin menjadi mampu melihat sesuatu
sebagaimana adanya, dan menyiapkan batin untuk mencapai kebijaksanaan.[29]
Samadhi bisa diartikan dengan konsentrasi atau
kontemplasi.[30]
Yang dimaksud meditasi (samadhi) adalah
terpusatnya batin pada satu titik, yaitu batin atau perhatian yang terpusat
pada satu benda khusus atau suatu paham sampai semua pikiran-pikiran yang
berhamburan dihentikan.[31]
Sedangkan menurut Matius Ali, disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan samadhi atau pembersihan pikiran adalah mengenai
seluruh pengendalian dan perkembangan dari pikiran serta kekuatan batin, yang
dalam bahasa pali disebut bhavana.
Secara etimologis, kata samadhi berarti:
penempatan yang kuat bersama dan di dalam sutta-sutta dijelaskan sebagai:
keadaan pikiran yang ditujukan pada suatu objek (citta ekaggata=
pemusatan pikiran). Jika ditinjau dalam arti yang luas, samadhi berarti
suatu tingkat tertentu dari pemusatan pikiran, yang bersatu dan tak dapat
dipisahkan dari unsur-unsur kesadaran.[32]
Dalam referensi lain, samadhi diartikan
sebagai tehnik meditasi untuk menenangkan pikiran gangguan emosi dan pengalihan
mental dengan melekatkan kuat-kuat pada objek tunggal perhatian dan kesadaran
menjaganya sampai pikiran benar-benar menyerap dalam pre okupasi tunggal
menyingkirkan hal lain, dan seluruhnya menyatu dalam keadaan kesadaran yang
sederhana dan bersatu. Keadaan tenang, hening, dan konsentrasi disebut samadhi.[33]
Harus dipahami bahwa hening dan kesunyian ada
dalam diri kita. Jika pikiran kita tidak tenang, bahkan hutan yang sunyi pun
tidak akan menjadi cocok. Tetapi jika kita tenang, bahkan jantung kota yang
ramai bisa menjadi cocok. Suasana tempat kita hidup berfungsi sebagai pembantu
tak langsung untuk menenangkan pikiran kita.[34]
Samadhi berarti terpusatnya pikiran pada suatu hal. Ia
merupakan konsentrasi pikiran pada suatu objek dengan mengeluarkan semua yang
lain.[35]
Samadhi yang benar (samma samadhi) adalah
bersatu dengan kesadaran dari karma yang baik; sedangkan samadhi yang
salah (miccha-samadhi) adalah bersatu dengan semua kesadaran dari karma
yang tidak baik. Bilamana dipergunakan istilah samadhi, yang dimaksud
adalah samadhi yang benar.[36] Miccha
samadhi dapat pula terjadi disamping samma samadhi. Pada bentuk yang
pertama, kekuatan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan diri sendiri, apakah
untuk keuntungan-keuntungan materi atau untuk tujuan-tujuan yang merugikan.
Pada bentuk yang kedua, itu dikembangkan hanya untuk penyucian batin dan
sebagai dasar-dasar pencapaian Jhana yang kemudian dipergunakan untuk
melatih pandangan terang.[37]
Ada dua macam samadhi: Samatha Bhavana dan
Vipassana Bhavana
Bhavana artinya menjadi, terbuka, perkembagan.
Ada dua macam perkembangan:
a.
Perkembangan ketenangan batin (Samatha
bhavana) atau konsentrasi (samadhi bhavana). Perkembangan pandangan
– terang (Vipassana bhavana) atau perkembangan –kebijaksanaan (panna
bhavana). Ketenangan (samatha) adalah keadaan pikiran yang tidak
dapat digoncangkan, tenang, aman, damai, dan nyata. Ketenangan batin,
sebenarnya menurut keterangan sankhepa vannana, mendatangkan tiga macam
berkah, yakni reinkarnasi yang baik, hidup bahagia, dan kesucian pikiran untuk
mencapai pandangan terang (vipassana).
b.
Pandangan-Terang (vipassana) adalah
nyata pikiran yang seperti kilat menembus ketidak-kekalan, ketidak puasan, dan
tidakadanya aku, (anicca, dukha, anatta)dari seluruh
badan, perasaan, dan bentuk pikran, yakni: kelima kelompok kehidupan (khandha),
yang terdiri atas: badan jasmani (rupa khandha), perasaan (vedana),
pencerapan (sanna), bentuk-bentuk pikiran (sankhara)dan kelompok
kesadaran (vinnana khandha).
Pemusatan pikiran, sebenarnya merupakan dasar
penting untuk menuju tingkat awal pandangan terang, dengan membebaskan pikiran
dari kotoran-kotoran dan rintangan batin; tapi pandangan terang adalah yang
langsung membawa ke salah satu tingkat kesucian. Pandangan terang, jika sudah
timbul, terusirlah kegelapan dari kebsodohan (avijja) dan terbitlah
cahaya kebijaksanaan (panna).[38]
Konsentrasi benar adalah diiringi dengan pikiran benar, daya upaya
benar, perhatian benar. Samadhi ini disebut Jhana, bertujuan untuk mencapai
konsentrasi pikiran, dan ketenangan.
Jhana tingkat 1
Keadaan batin
terdiri dari lima corak, yaitu:
1.
Usaha
untuk memegang objek (vittaka)
2.
Pikiran
telah berhasil memegang objek dengan kuat (vicara)
3.
Kegiuran
atau kenikmatan, karena telah terbebas dari tekanan perasaan (piti)
4.
Kebahagiaan
yang tidak terhingga (Sukkha)
5.
Pemusatan
pikiran yang kuat (cittekaggata)
Jhana tingkat 2
1.
Kegiuran
atau piti
2.
Kebahagiaan
atau sukkha
3.
Pemusatan
pikiran yang kuat atau Cittekaggata
Jhana tingkat 3
1.
Kebahagiaan
atau sukkha
2.
Pemusatan
pikiran atau Cittekaggata
Jhana tingkat 4
Semua
perasaan lenyap, batin seimbang dan pikiran terpusat/manunggal atau upekkha dan
cittekaggata
Setelah
mencapai Jhana tingkat 4, penganut agama Buddha yang mulia dapat
memperkembangkan tenaga-tenaga batin, ialah Abhinna, yang terdiri dari:
1.
Tenaga
batin duniawi atau lokiya abhinna
Ø Kekuatan magis (iddhividha) yang terdiri dari:
·
Iddhitana
iddhi: dengan kekuatan kehendak dapat merubah tubuh sendiri dari satu menjadi
banyak atau dari banyak kembali menjadi satu
·
Vikkubhana
iddhi: kemampuan untuk menyalin rupa, (seperti menyalin rupa seperti anak
kecil, raksasa, membuat diri menjadi tidak tertampak)
·
Manomaya
iddhi: kemampuan menciptakan dengan menggunaan pikiran, umpamanya menciptakan
harimau, pohon, dan sebagainya.
·
Hanavipphara
iddhi: kekuatan menembus ajaran.
·
Samadhivipphara
iddhi: konsentrasi lebih jauh:





Ø Telinga batin (dibbasota), ialah kemampuan untuk mendengar
suara-suara dari alam-alam manusia dewa, yang jauh maupun yang dekat.
Ø Mata batin (dibbacakkhu), ialah kemampuan untuk melihat alam-alam
dan berkesanggupan melihat lenyap – muncul – lenyapnya makhluk yang menitis
sesuai dengan kammanya masing-masing.
Ø Kemampuan untuk membaca pikiran makhluk-makhluk lain atau
cetopariyanana.
Ø Kemampuan untuk mengingat penitisan-penitisan yang lampau atau
pubbenivasanussati.
2.
Tenaga
bathin luhur atau lokuttara abhinna
Ø Kemampuan untuk memusnahkan arus-kekotoran batin (asava) atau
asavakkhaya.
Lokkiya abhinna dapat dimiliki puthujjana, tapi lokuttara abhinna
hanya dimiliki oleh para arahat karena dengan lenyapnya semua asava berarti
dicapainya arahat. Dalam kitab Visuddhi Magga pasal XII membentangkan
latihan-latihan untuk memperoleh iddhi.[39]
Tiga faktor ini adalah faktor untuk
pengembangan kebijaksanaan melalui pemurnian batin. Faktor-faktor ini jika
dilatih, memungkinkan seseorang untuk memperkuat dan mengendalikan batin, dan
karena itu memastikan tindakannya akan terus baik dan batinnya dipersiapkan
untuk menyadari kebenaran, yang akan membuka pintu menuju keterbatasan, menuju
pencerahan.[40]
Penembusan
terhadap anicca dan dukkha adalah kebijaksanaan yang tertinggi.
Kebijaksanaan tertinggi ini akan melenyapkan keinginan, yang menjadi akar dari
penderitaan. Untuk melenyapkan penderitaan, keinginanan harus diatasi dengan
sempurna dan untuk selama-lamanya. Jangan menambah kuatnya keinginan dengan
membuat kejahatan, itulah Sila. Lawan keinginanmu dengan meditasi itulah
Samadhi. Dan lenyapkan keinginnmu dengan menembus kebijaksanaan yang tertinggi,
itu lah Panna.[42]
Panna ini meliputi:
Pandangan
benar dijelaskan sebagai mengetahui pengetahuan akan empat kebenaran mulia.
Dengan kata lain, hal ini adalah pemahaman sesuatu sebagaimana adanya.
Pandangan benar juga berarti bahwa seseorang memahami sifat karma yang
bermanfaat (baik) dan karma yang tidak bermanfaat (buruk), dan bagaimana hal
itu dapat dilakukan oleh pikiran, ucapan, dan tubuh. Dengan memahami karma,
seseorang akan belajar untuk memantang keburukan dan melakukan kebaikan , demi
menciptakan hasil yang diinginkan dalam hidup. Jika seseorang memiliki
pandangan benar, ia juga memahami tiga sifat keberadaan (bahwa segala hal yang
terkondisi adalah tak tetap, tak memuaskan, dan tiada diri) dan memahami
musabab yang saling bergantung. Seseorang dengan pandangan benar yang sempurna
adalah orang yang bebas dari ketaktahuan, dan dengan sifat pencerahan itu
menyingkirkan akar keburukan dari batinnya yang menjadi terbebas. Tujuan mulia
umat Buddha adalah mengembangkan batin untuk memperoleh pandangan benar tentang
diri sendiri, kehidupan, dan semua fenomena.[45]
Pandangan
benar ini adalah:
1.
Menembus
empat kasunyatan
2.
Menembus
tiga corak umum, ialah barang siapa menyelami, bahwa bentuk jasmani (rupa),
perasaan (vedana), pencerapan (sanna), bentuk-bentuk mental (sankhara) dan
kesadaran (vinnana) adalah fana, terpengaruh oleh derita dan tanpa diri
(anatta), dialah orangnya yang memiliki pandangan benar.
3.
Menembus
pokok permulaan sebab akibat yang saling bergantungan, ialah sesungguhnya,
barangsiapa menembusnya, dialah orangnya yang menembus kesunyatan; dan
barangsiapa menembus kesunyatan, dialah orangnya yang menembusnya.
Untuk pandangan benar duniawi:
Memberi, sedekah, bermurah hati adalah tidak sia-sia, sesungguhnya
terdapat buah dan akibat dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk.
Berbakti pada orang tua menghasilkan pahala, di alam-alam luhur
terdapat makhluk-makhluk yang lahir dengan spontan.
Di dalam dunia terdapat petapa-petapa dan pandita yang tanpa noda
serta sempurna, yang dapat menerangkan hidup sekarang dan hidup kemudian yangv
telah mereka selami.
Untuk pandangan benar luhur:
Kebijaksanaan, penembusan, pandangan benar yang berhubungan dengan
Ariya Atthangika Magga, batin berpaling dari dunia dan dihubungi dengan jalan
suci yang ditempuh, inilah pandangan benar luhur.
Hubungan dengan ruas jalan:
Ø Pandangan benar: menyelami pandangan salah sebagai salah dan
pandangan benar sebagai benar
Ø Daya upaya benar: berdaya untuk mengatasi pandangan salah dan
membina pandangan benar
Ø Perhatian benar: mengatasi pandangan salah dengan pikiran sadar
serta memiliki pandangan benar dengan pikiran sadar.[46]
Jika
seseorang memiliki pandangan benar, ia mengembangkan perniatan benar juga.
Faktor ini kadang-kadang disebut sebagai pemikiran benar, kehendak benar, atau
gagasan benar. Hal ini mengacu pada keadaan batin yang melenyapkan ide atau
gagasan yang salah dan meningkatkan faktor moral lainnya untuk diarahkan menuju
Nibbana. Faktor ini memberikan tujuan ganda, yaitu melenyapkan perniatan buruk
dan mengembangkan perniatan murni. Perniatan benar penting karena niatlah yang
memurnikan atau mengotori seseorang.
Ada
tiga aspek perniatan benar. Pertama, seseorang sebaiknya memelihara sikap
ketaklekatan pada kesenangan duniawi alih-alih melekat secara egois
terhadapnya. Ia sebaiknya tidak mementingkan diri sendiri dan memikirkan
kesejahteraan pihak lain. Kedua, seseorang sebaiknya memelihara cinta kasih,
niat baik, dan kebajikan dalam batinnya, yang merupakan lawan kebencian, niat
buruk, dan kejahatan. Ketiga, seseorang sebaiknya berniat untuk tidak menyakiti
atau berwelas terhadap semua makhluk, yang merupakan lawan kekejaman dan kurang
tenggang rasa terhadap pihak lain. Saat seseorang maju dalam jalan spiritual,
batinnya akan semakin jadi bajik, tidak menyakiti, tidak memntingkan diri
sendiri, dan dipenuhi cinta dan kewelasan.[49]
Pikiran
Benar atau Samma Sankappa adalah:
Untuk pikiran
Benar Dunia (Lokkiya Samma Sankappa) adalah:
Ø Pikiran yang bebas dari hawa nafsu (nekhama sankappa)
Ø Pikiran yang bebas dari kebencian (avyapada sankappa)
Ø Pikiran yang bebas dari kekejaman (avihimsa sankappa)
Untuk pikiran benar luhur (Lokuttara Samma Sankappa):
Pemikiran, pertimbangan, pembahasan
yang berpaling dari dunia, batin yang suci berhubungan dengan jalan suci yang
ditempuh.
Hubungan dengan Ruas Jalan adalah:
Ø Pandangan benar: menyelami pikiran salah sebagai salah, ddan
pikiran benar sebagai benar
Ø Daya upaya benar: berdaya untuk mengatasi pikiran jahat dan membina
pikiran benar
Ø Perhatian benar: mengatais pikiran jahat dengan sadar serta dengan
sadar memiliki pikiran benar.
Jalan duniawi (Lokiya Magga)
ditempuh oleh para Puthujjana dan menghasilkan buah-buah kamma duniawi yang
baik. Akan tetapi Jalan Ssuci (Lokuttara Magga) ditempuh oleh parra Ariya
puggala dan menghasilkan kesucian, bahkan pembebasan dari derita.[50]
Disiplin
mengatur kata-kata dan perbuatan; konsentrasi mengawasi pikiran; tetapi
pandangan terang (panna), langkah ketiga dan terakhir, yang memungkinkan
seseorang calon pencapai kesucian untuk menghancurkan semua kekotoran yang
ditenangkan oleh samadhi.
Pada
mulanya ia mengembangkan “pandangan yang bersih” (ditthivisuddhi) dalam rangka
melihat segala sesuatu sebagai mereka adanya. Dengan pikiran terpusat ia
menganalisa dan menguji apa yang disebut makhluk. Pengujian ini menunjukkan apa
yang ia sebut “sku”, (pribadi), hanyalah perpaduan kompleks dari batin dan
jasmani yang selalu dalam keadaan mengalir. Setelah seseorang mencapai
pandangan benar dari sifat sesungguhnya yang disebut makhluk, bebas dari paham
suatu jiwa yang kekal, ia mencari sebab dari pribadi, “sang aku”. Ia menyadari
bahwa tiada apapun di dunia yang tidak disyarati oleh sebab atau sebab-sebab
tertentu, masa lampau atau sekarang, dan keberadaannya saat ini karena
ketidak-tahuan (avijja), nafsu keinginan (tanha), kemelekatan (upadana)
yang lalu, Kamma dan makanan jasmani pada saat ini. Karena ke lima sebab ini
apa yang disebut makhuk muncul dan karena sebab-sebab masa lalu telah membentuk
keadaan sekarang, jadi keadaan saat ini akan membentuk masa yang akan datang.
Dengan bermeditasi, ia mengatasi semua keraguan berkenaan dengan masa lalu,
saat ini dan yang akan datang. Selanjutnya ia merenungkan kesunyataan bahwa
semua benda semua benda bersyarat tidak kekal (annica), terkena
penderitaan (dukkha), dan kosong dari satu jiwa yang abadi (anatta).
Kemanapun ia mengarahkan pandangan mata ia tidak melihat apapun kecuali tiga
ciri utama yang tampak nyata. Ia menyadari bahwa kehidupan hanyalah keadaan
yang mengalir oleh sebab-sebab dari dalam dan luar. Dimanapun tidak ia dapatkan
ketenangan sejati, karena segala sesuatu dalam keadaan berubah. Karena ia
merenungkan sifat kehidupan dengan cara itu dan larut dalam meditasi, diluar
dugaannya, tiba saat ketika ia menjadi saksi dari satu cahaya (dukkha)
yang dipancarkan oleh dirinya. Ia merasakan kenikmatan, kebahagiaan, dan
ketenangan yang tak terbandingkan. Ia mengembangkan kesenangan pada keadaan
batin ini. Segera kesadaran datang bahwa perkembangan baru adalah ini adalah
rintangan pada kemajuan moral, dan ia mengembangkan kejelasan pengetahuan
berkenaan dengan sang jalan dan bukan jalan.
Dengan
mengamati jalan yang benar, ia memulai lagi meditasinya pada munculnya (udaya
nana) dan lenyapnya (vaya nana) semua benda bersyarat. Dari dua
keadaan itu, yang terakhir menjadi lebih mengesankan bagi batin karena
perubahan lebih nyata daripada pemunculan. Oleh karena itu ia mengarahkan
perhatiannya untuk merenungkan hancurnya benda-benda (bhanga nana). Ia
mengamati bahwa baik batin maupun jasmani yang membentuk apa yang disebut
makhluk dalam keadaan selau berubah, tidak tepat sama dalam dua saat yang
berurutan. Padanya muncul pengetahuan bahwa semua benda yang hancur adalah
menakutkan (bhaya nana). Seluruh dunia tampak padanya seperti setitik
lobang bara api yang merupakan satu sumber bahaya. Selanjutnya ia merenungkan
tentang kesengsaraan dan kekosongan (adhinava nana) dunia yang
menakutkan dan kotor, serta memperoleh perasaan jijik (nibhida nana)
diikuti oleh kehendak kuat unutk bebas dari padanya (muncitukamyata nana).
Dengan pandangan ini, ia mengamati meditasinya pada tiga ciri utama dari
ketidak kekalan, penderitaan dan ketiadaan jiwa (pati sankha nana), dan
setelah itu mengembangkan keseimbangan penuh terhadap semua benda bersyarat-
tidak mempunyai kemelekatan maupun keenganan terhadap obyek duniawi yang
manapun (upekkha nana). Dengan mencapai titik perkembangan spiritual
ini, ia memilih salah satu dari tiga ciri utama sebagai obyek khusus dari
usahanya dan dengan tekun mengembangkan pandangan terang pada arah itu sampai
hari yang agung ketika ia untuk pertama kali memahami Nibbana, tujuannya yang
tertinggi. Ketika orang ini menyadari Nibbana pertama kali disebut Sotapanna,
ia memasuki arus yang membimbing menuju ke Nibbana untuk pertama kali. Arus itu
mewakili jalan Ariya Berunsur Delapan. Seorang pemenang arus bukan lagi orang
biasa (puthujanna), tetapi orang Ariya (mulia).
Pada
waktu mencapai tingkat pertama dari kesucian, ia menghancurkan tiga belenggu (samyojana)
yang mengikatnya pada kelahiran yaitu:
1.
Sakkaya
dithi: sati+kaya+ditthi – secara harfiah, pandangan ketika sekelompok atau
perpaduan berada. Kaya menunjuk pada kelima kelompok jasmani, perasaan,
persepsi, keadaan mental, dan kesadaran. Pandangan bahwa ada kesatuan yang
tidak berubah, satu jiwa yang kekal, ketika ada perpaduan kompleks dari unsur
batin dan jasmani, ia disebut sakkaya-ditthi.
Dhammasangani menyebutkan dua puluh jenis teori jiwa semacam itu.
Sakkaya-ditthi biasanya diterjemahkan sebagai khayalan pribadi, teori tentang
pribadi, atau khayalan tentang aliran pribadi.
2.
Vicikiccha:
keragu-raguan. Mereka adalah keragu-raguan tentang Sang Buddha, Dhamma, Sangha,
aturan tata kedisiplinan (sikkha), masa lalu, masa yang akan datang, baik masa
lalu maupun masa yang akan datang, dan sebab musabab yang saling bergantungan
(paticca samupada).
3.
Silabbataparamasa:
kemelekatan (yang salah) pada ritual dan upacara.
Dhammasangani menerangkan hal itu
sebagai berikut, “Ia merupakan teori yang dipegang oleh para pertapa dan Brahim
diluar ajaran ini bahwa kesucian dicapai dengan aturan tindakan moral dan
upacara.
Untuk mengahancurkan sisa tujuh belenggu yang lain seorang
Sotapanna bertumimbal lahir paling banyak tujuh kali. Ia memperoleh keyakinan
penuh pada Sang Buddha, Dhama dan Sangha. Ia dengan alasan apapun tak akan melanggar
Lima Sila yang manapun. Ia tidak akan bertumimbal lahir dalam keadaan sengsara
karena ia pasti mencapai penerangan. Si peziarah suci menyempurnakan pandangan
terangnya untuk menjadi seorang sakadagami (Yang hanya kembali satu kali saja),
tingkat kesucian yang kedua, dengan melemahkan dua belenggu lagi yaitu nafsu
keinginan indriya (Kamaraga) dan keinginan jahat (patigha). Sekarang ia disebut
Ia yang Hanya Kembali Satu Kali saja di dalam manusia seandainya ia tidak dapat
mencapai tingkat kesucian Arahat pada kehidupan itu juga. Sangatlah menarik
untuk dicatat bahwa para makhluk suci yang telah mencapai tingkat kesucian ke
dua hanya dapat melemahkan dua belenggu yang kuat itu yang mengikatnya, sejak
waktu lampau yang tak terkira. Kadang-kadang walaupun sangat jarang, ia dapat
dikuasai pikiran penuh nafsu dan kemarahan. Dengan mencapai tingkat kesucian
ketiga, yaitu Anagami (Yang sudah tidak kembali), ia lengkap menghancurkan dua
belenggu tadi. Setelah itu ia tidak kembali di dunia ini maupun alam surgawi
lain, karena ia telah mencabut keinginan untuk memuaskan indria. Setelah
kematiannya ia bertumimbal lahir di Alam Yang Murni (Suddhavasa), satu
lingkungan khusus untuk para Anagami. Di sana ia mencapai tingkat Arahat dan
hidup sampai akhir hayatnya. Ketika seorang umat awam menjadi seorang Anagami,
ia menjalankan kehidupan selibat.
Para Anagami sekarang membuat
kemajuan terakhir dan menghancurkan sisa lima belenggu yaitu kemelekata pada
alam yang berbentuk (ruparaga), kemelekatan pada alam yang tidak berbentuk
(aruparaga), kesombongan (mana), keresahan (uddhacca) dan ketidaktahuan
(avijja) mencapai tingkat Arahat, yaitu jenjang terakhir kesucian.
Pemasuk Arus, Yang hanya kembali
satu kali saja, dan yang sudah tidak kembali disebut sekha karena mereka belum
menyelesaikan latihan. Arahat disebut Aseka (Mahir) karena mereka sudah tidak
menjalani latihan apapun.
Arahat, secara harfiah Yang
Berharga, tidak bertumimbal lahir lagi karena ia tidak menimbun Kamma baru.
Benih pembuahannya sudah dihancurkan semua.
Arahat memahami bahwa hal yang harus
diselesaikan telah dikerjakan, beban berat dukacita akhirnya sudah dilepaskan,
dan semua bentuk kerinduan dan semua bayangan atau ketidak tahuan sudah
dihilangkan sama sekali.
Tumimbal lahir tak dapat mengenai
dirinya lagi karena tidak ada lagi benih pembuahan dibentuk oleh kegiatan Kamma
yang baru.
Walaupun sebagai Arahat ia tak bebas
sepenuhnya dari penderitaan jasmani, karena pengalaman kebahagiaan. Kebebasan
hanyalah berselang-seling demikian pula ia belum melepaskan badan jasmaninya.
Seorang Arahat disebut Asekha, yaitu ia yang sudah tidak menjalani latihan,
karena ia sudah menjalani kehidupan suci dan sudah menyelesaikan sasarannya.
Para suci lain dari tingkat Sotapatti sampai tingkat jalur Arahat sisebut Sekha
karena masih menjalani latihan.
Dapat disebutkan bahwa dalam
hubungan ini para Anagami dan Arahat yang sudah mengembangkan Rupa dan Arupa
Jhana dapat mengalami kebahagian Nibbana tanpa terputus selama tujuh hari,
bahkan dalam kehidupan itu juga. Dalam bahasa Pali ini dikenal sebagai Niroddha
Samapatti. Seorang Ariya, dalam keadaan ini,seluruhnya bebas dari rasa sakit,
dan semua kegiatan mentalnya ditunda. Aliran kesadarannya berhenti mengalir
untuk sementara.
Berkenaan dengan perbedaan antara
orang yang telah mencapai Nirodha Samapatti dan orang mati, dalam Visuddhi
Magga disebutkan, tidak hanya kekuatan plastis dari tubuh (yaitu pernafasan),
pembicaraan dan pikiran diam tak bergerak, tetapi tenaga hidup juga habis,
panas padam, dan unsur-unsur indria rusak, sedangkan pada Bhikku dalam
kebahagiaan yang amat sangat tenaga hidup ada, jantung bekerja, dan unsur-unsur
indria jelas, walaupun pernafasan, pengamatan, dan pemahaman diam dan tidak
bergerak.
Menurut agama Buddha, dalam istilah
konvensional, inilah bentuk kebahagiaan tertinggi yang mungkin ada dalam
kehidupan sekarang.[51]
C.
Macam-Macam
Nibbana
Sesungguhnya ini bukan macam Nibbana, karena hanya ada satu Nibbana.
Perbedaan namanya sesuai dengan cara dicapainya, yaitu sebelum atau sesudah
kematian.
Menurut pencapaiannya, Nibbana ada dua macam, yaitu:
1. Sa- Upadisesa Nibbana
Yaitu
nibbana masih bersisa, yang dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini juga.
Yang dimaksud dengan bersisa di sini adalah masih adanya Lima Khanda. Ketika
Pertapa Gotama mencapai Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha, Beliau
dikatakan telah dapat mencapai Sa-upadisesa-Nibbana tetapi masih memiliki Lima
Khanda (jasmani, kesadaran, bentuk pikiran, pencerapan dan perasaan).
Sa-upadisesa-Nibbana juga dapat dikatakan sebagai kondisi batin (state of mind)
yang murni, tenang, dan seimbang.[52] Mereka
yang mencapai Nibbãna, dengan batin yang telah bebas, tapi karena jasmaninya
masih ada, maka dia masih menjadi obyek penderitaan jasmaniah.[53]
2. An- Upadisesa Nibbana
Yaitu
nibbana tanpa sisa. Setelah meninggal dunia, seorang Arahat akan mencapai
anupadisesa-nibbana, ialah Nibbana tanpa sisa atau juga dinamakan Parinibbana,
dimana tidak ada lagi Lima Khanda (jasmani, kesadaran, bentuk pikiran,
pencerapan dan perasaan), tidak ada lagi sisa-sisa dan sebab-sebab dari suatu
bentuk kemunculan. Sang Arahat telah beralih ke dalam keadaan yang tidak dapat
dilukiskan dengan kata-kata. Hal ini dapat diumpamakan dengan padamnya api dari
sebuah pelita, kemanakah api itu pergi ? Hanya satu jawaban yang tepat, yaitu
‘tidak tahu’. Ketika Guru Buddha mangkat /wafat, Beliau dikatakan telah
mencapai anupadisesa-nibbana.[54] Lalu
setelah mereka mati, batin juga dibebaskan dari penderitaan jasmaniah dan
seorang mencapai Nibbãna sempurna.[55]
D. Manfaat
dari Sila, Samadhi, dan Panna
1.Hasil dari pelaksanaan Sila ialah diperolehnya kesucian Sila atau
Silavisuddhi (kesucian pikiran, ucapan, dan perbuatan). Dengan begitu orang
melaksanakan Sila, akan dapat mengendalikan tanha untuk kemudian menjadi
seorang manusia yang hidupnya susila.
2. Hasil pelaksanaan Samadhi ialah diperolehnya kesucian batin atau
Cittavisuddhi (kesadaran/batin yang bebas dari kekotoran-kekotoran). Dengan
melaksanakan samadhi, akan dapat melemahkan kekuatan tanha dengan menjalankan
sila. Karena Sila tanpa Samadhi adalah sulit untuk dapat berhasil dalam
melakukan perbuatan yang susila. Tapi Samaditanpa Sila tidak akan berhasil.
Karena itu, keduanya harus dijalankan bersama-sam.
3. Hasil pelaksanaan Panna, ialah diperolehnya kesucian pandangan
atau Ditthivisuddhi (melihat segala sesuatunya dalam kewajaran dari
anicca,dukkha, dan anatta). Bila Sila dan Samadhi tercapai sempurna, maka
tercapailah Panna. Panna gunanya untuk
melenyapkan tanha yang menjadi sebab utama terjadinya penderitaan
jasmani-rohani. Berhasilnya Panna diperoleh, Sila dan Samadhi sekaligus telah
dijalankan. Maka avijja, asava, dan tanha dapat dibasmi.[56]
E. Keadaan Orang yang telah mencapai Nibbana
Tiada
lagi penderitaan bagi mereka yang telah mencapai Nibbana, yang telah terbebas dari penderitaan yang telah
membebaskan diri dari segala ikatan nafsu, yang telah memutuskan semua ikatan.
Orang yang sempurna, sikapnya toleran, seperti tanha, seperti ambang pintu yang
menjalankan tugasnya, yang bagaikan danau yang tidak berlumpur, manusia yang
demikian tidak lagi terikat oleh lingkaran Tumimbal lahir dan kematian.
Pikiran tenang, tutur kata dan
perbuatannya senantiasa dilakukan dengan tenang setelah ia mencapai kebebasan
melalui pengetahuan sejati dan menjadi tenang serta seimbang. Orang sempurna
telah bebas dari ketahyulan. Ia mengetahui yang tak diciptakan, yang telah
memutuskan semua nafsu keinginan. Dialah manusia yang paling luhur, suci dari
segala manusia.
Dimana saja bersemayam orang suci,
tempat itu pasti sangat menyenangkan, baik di kota, di kampung maupun di dalam
hutan, di laut maupun di darat.
Cita-cita semua umat Buddha,
petama-tama ialah untuk mencapai tingkat kesucian, untuk menjadi manusia suci
atau Arahat, atau menjadi Bodhisattva untuk mencapai tingkat ke Buddhaan dan
Nibbana.[57]
Arahat melanjutkan hidup pada saat
ia telah mencapai Nibbana karena kekuatan kamma yang menghasilkan kelahiran
belum berakhir. Arahat hidup sepanjang rentang hidupnya tanpa penambahan Kamma
baru pada timbunannya, dan sama sekali tidak mempersoalkan kematian.
Ketika Arahat telah mati, ia telah
hilang. Untuk mereka yang hilang, tercantum dalam Sutta Nippana, tidak ada bentuk apapun
yang dapat mereka katakan sebagai kehadirannya. Jika semua keadaan terputus
semua materi untuk didiskusikan juga terputus.[58]
PENUTUP
Jalan menuju ke
Nibbana adalah jalan tengah (Majjima Patipada) yang menghindari ekstrim
penyiksaan diri yang melemahkan kecerdasan dan ekstrim pengumbaran nafsu yang
menghalangi kemajuan moral.
Tidak semua
manusia memiliki kemampuan yang sama untuk seketika mencapai kematangan
spiritual. Buddha menjelaskan secara rinci Jalan Mulia Berfaktor delapan
untuk perkembangan bertahap cara hidup
spiritual dalam cara yang praktis.
Jalan untuk mencapai Nibbana ada delapan cara, namun telah
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1.
Sila
: kesusilaan, meliputi perkataan benar, penghidupan benar, penghidupan benar.
2.
Samadhi:
keheningan, meliputi pengupayaan benar, penyadaran benar, pengheningan benar.
3.
Panna:
kebijaksanaan, meliputi pandangan benar dan perniatan benar.
Orang yang telah mencapai Nibbana disebut orang yang sempurna.
Tiada lagi penderitaan bagi mereka yang telah mencapai Nibbana.
Macam-Macam Nibbana:
1.
Sa –
Upadisesa Nibbana
2.
An –
Upadisesa Nibbana
Manfaat Sila, Samadhi, dan Panna:
- Sila: kesucian Sila (kesucian pikiran, ucapan, dan perbuatan), dapat mengendalikan tanha.
- Samadhi: kesucian batin (kesadaran/batin yang bebas dari kekotoran-kekotoran), dapat melemahkan kekuatan tanha.
- Panna : kesucian pandangan (melihat segala sesuatunya dalam kewajaran dari anicca,dukkha, dan anatta), melenyapkan tanha.
DAFTAR PUSTAKA
Abhijato, Acharm Suchart, Kenikmatan inderawi adalah menykitkan
Ali, Matius, Filsafat India, (Tangerang: Sanggar
Luxor), 2010, cet. l,
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, (Kuala
Lumpur:Ehipassiko Foundation), 2012
Diputhera, Oka, Pedoman Penerangan Agama Buddha, (Jakarta:
Yayasan Sariputra Sadono), 1977
Mahatera, Ven Narada, Sang
Budha dan ajaran-ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama), 1992
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma
Pustaka Dhamma, Nibbana, diakses pada 09 April 2013, dari
http://tanhadi.blogspot.com/2012/02/bab-viii-nibbana.html
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm
[1]
Mahatera, Ven Narada, Sang Budha dan
ajaran-ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama), 1992, h. 191
[2] Majelis
Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[3] Majelis
Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 12
[4] Majelis
Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[5]
Diputhera, Oka, Pedoman Penerangan Agama Buddha, (Jakarta: Yayasan
Sariputra Sadono), 1977, h. 62
[6]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, (Kuala Lumpur:Ehipassiko
Foundation), 2012, h. 119
[7] Majelis
Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[8] Majelis
Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 99
[9]
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[10]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 121
[11] Majelis
Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 119
[12]
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[13]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 122
[14] Majelis
Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 120
[15]
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[16]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 122-123
[17]
Mahatera, Ven Narada, Sang Budha dan
ajaran-ajarannya, h. 191-196
[18] Majelis
Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 120-121
[19] Majelis
Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[20] Majelis
Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 100
[21]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 123-124
[22] Majelis
Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 121
[23]
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[24]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 119
[25]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 124
[26] Majelis
Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 121-122
[27]
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[28]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 119
[29]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 124-125
[31]
Vajirananavarorasa, prince, Dhamma Vibhaga, h. 21
[32] Ali,
Matius, Filsafat India, h. 170
[33]
Abhijato, Acharm Suchart, Kenikmatan inderawi adalah menykitkan, h. 125
[34]
Mahatera, Ven Narada, Sang Budha dan
ajaran-ajarannya, h. 200
[35]
Mahatera, Ven Narada, Sang Budha dan
ajaran-ajarannya, h. 197
[36] Ali,
Matius, Filsafat India, 170
[37]
Vajirananavarorasa, prince, Dhamma Vibhaga, h. 22
[38] Ali,
Matius, Filsafat India, 171
[39] Majelis
Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 123-124
[40]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 123
[41] Majelis
Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[42] Majelis
Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 01
[43]
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[44]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 119
[45]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 120
[46] Majelis
Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 125-126
[47]
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[48]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 119
[49]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 120-121
[50] Majelis
Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 126
[51]
Mahatera, Ven Narada, Sang Budha dan
ajaran-ajarannya, h. 217-223
[52] Pustaka
Dhamma, Nibbana, diakses pada 09 April 2013, dari http://tanhadi.blogspot.com/2012/02/bab-viii-nibbana.html
[53] Pustaka
Dhamma, Buku Pintar Agama Buddha, diakses pada 09 April 203, dari http://tanhadi.blogspot.com/2011/03/buku-pintar-agama-buddha-n.html
[54] Pustaka
Dhamma, Nibbana, diakses pada 09 April 2013, dari http://tanhadi.blogspot.com/2012/02/bab-viii-nibbana.html
[55] Pustaka
Dhamma, Buku Pintar Agama Buddha, diakses pada 09 April 203, dari http://tanhadi.blogspot.com/2011/03/buku-pintar-agama-buddha-n.html
[56] Majelis
Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 127
[57] Majelis
Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136-137
[58]
Mahatera, Ven Narada, Sang Budha dan
ajaran-ajarannya, h. 224
Share This :
0 komentar:
Posting Komentar